Har, orang menyebutmu sebagai cinta pertamaku? Kamu setuju dengan ucapan itu? Aku masih terlalu bodoh untuk mengerti arti cinta, kawan. Tapi kamu sempat membuatku selalu tersenyum, kamu sempat membuatku bahagia. Namamu adalah yang paling pertama mengisi buku harian bergambar itu setiap lembarnya, ada cacian dan juga doa. Dan, kamu orang pertama yang membuatku bisa menulis surat cinta. Kamu pasti ingat itu. Gulungan kertas putih terbalut pita merah jambu, tinta hitam yang penuh dengan bahasa inggris yang baru aku pelajari kala itu. Ah, sungguh malu jika aku harus menuliskannya lagi untukmu. Saat itu aku menulis apa untukmu? Mungkin kamu bisa membantuku mengingatnya. Ah, sudah, lebih baik aku tak pernah ingat rayuan apa yang pernah aku persembahkan untukmu. Sekali lagi kamu membuatku tersenyum, Har, saat ini.
Har, apa kabar dirimu saat ini? Sudah lama kita tidak berjumpa, sudah berlumut rasanya mulut ini untuk mengucap kata sapa jika suatu saat nanti berjumpa. Tangan pun kaki sudah kaku untuk kembali mendekat merajuk saling menjambak rambut. Hati ini dingin dan terasa beku untuk mengingat namamu. Tapi, tenanglah, aku masih bisa mengeja dengan jelas nama dan margamu. Cukup dari mulutku. Kadang aku merindumu. Rindu senyum pelit dari ujung bibirmu. Rindu rekahan lebar saat kamu tahu tak ada warna merah di rapor birumu. Rindu gelak renyah tawa saat kita bersepeda di sepanjang jalan entah karena apa. Jalan itu, bertahun-tahun kita lewati bersama, jalan yang selalu sama, berjajar dengan sungai yang dikelilingi sawah. Di jalan itu, kenangan kita jatuh dan tergilas, mungkin.
Har, kapan kamu muncul secara tiba-tiba seperti kala itu? Hadir dalam dunia maya, bercerita dalam dunia maya. Dan, fisikmu tiba-tiba ada di depan mata saat aku tengah dilanda cinta. Kamu masih sama, tak ada yang berbeda karena kamu masih bisa membuatku tertawa. Berhari-hari kamu ciptakan suasana rinai hingga aku akhirnya sadar, tak seharusnya aku tertawa bersamamu sekian detik saja. Bodohnya, aku sekarang menginginkan kamu untuk hadir dan membuatku tertawa lagi. Tidak, Har, tidak. Aku tidak ingin mengangkat kembali kenangan yang sudah terkikis jatuh. Kenangan yang sudah aku simpan dengan renyah tawa seperti suara kerikil yang terlindas roda sepeda kita. Aku cuma ingin kamu datang dan membuatku tertawa, bersamamu.