Pengajian dalam rangka tingkeban di rumah |
Adat Tingkeban di Jawa – Upacara tujuh bulanan bagi ibu hamil yang
disebut juga tingkeban atau mitoni merupakan salah satu adat yang mungkin bagi
sebagian orang wajib dilaksanakan terlebih lagi jika itu cucu pertama. Jika dalam
keluarga yang saklek bisa jadi
dilakukan sebanyak dua kali yaitu 4 bulan menjelang 5 bulan dan 6 bulan
menjelang 7 bulan. Sebenarnya sah – sah saja melakukan syukuran atas kehamilan
yang dianggap sebagai anugerah dari Tuhan, yang tidak wajar jika upacara
tersebut dilakukan dengan serangkaian adat yang cenderung bisa membuat kita
lalai bahwa kita adalah manusia beragama dengan kata lain bisa menyebabkan dosa
menyekutukan Tuhan.
Baca Juga : Pondok Indah Mertua
Keluarga saya sendiri baik orang tua dan mertua masing - masing
melakukan syukuran tujuh bulanan atau tingkeban untuk kehamilan saya saat ini. Dan
tentu saja diwarnai dengan berbagai perdebatan karena adat dan mitos yang sedikit
banyak berseberangan dengan prinsip yang saya dan suami pegang. Seperti halnya
mitos waktu melaksanakan pernikahan, tingkeban pun demikian yang terjadi pada
saat pelaksanaan di rumah mertua, ada banyak sekali perdebatan yang memicu
pertengkaran. Beberapa mitos dan adat yang menurut saya aneh dan tidak masuk
dalam nalar sebagai berikut:
- Tanggal dan hari pelaksanaan tingkeban harus berdasar penanggalan Jawa yang dihitung oleh orang pintar, duh! Yang penting suami bisa cuti dan pulang kampung.
- Saya dan suami diminta mencuci buah - buahan untuk rujak agar nanti anaknya lahir juga bersih. Oke, saya dan suami manut saja saat diminta mencuci buah dengan niat membantu pekerjaan mereka, perihal anak nanti lahir bersih atau tidak wallahu’alam, hehe.
- Jika rasa rujak tersebut enak dan sedap maka anaknya perempuan, jika cemplang atau tidak sedap maka laki - laki. Ini mah saya tertawa saja, urusan enak tidak enak kan tergantung tangan yang masak, hehe. Hasilnya, rujak di rumah mertua tidak enak sedang rujak di rumah enak dan sedap, hayoloh, haha.
- Mandi kembang malam, inilah adat tingkeban yang memicu perdebatan. Yang seharusnya dilakukan adalah saya dan suami dimandikan atau disiram dengan air kembang tujuh rupa dari ujung rambut hingga kaki dihadapan umum oleh tujuh orang secara bergantian. Penolakan pertama karena niat mandi kembang yang digadang - gadang adalah agar calon ibu dan anak selamat hingga lahiran sambil minta doa pada leluhur. Ini sudah pasti dosa syirik! Penolakan kedua karena saya harus pakai kemben atau daster buka jilbab dihadapan umum, siapapun tidak akan pernah bisa membuat saya melakukan hal tersebut. Penolakan ketiga karena mandi kembang dilakukan malam hari saat pengajian usai sekitar jam 9 malam, masuk angin dong nanti. Saat upacara ini disampaikan mertua, suami langsung tegas menolak dan ternyata hampir seluruh anggota keluarga dan tetangga pun ikut “menyerang” suami hingga timbul adu mulut, saya pun terdiam di kamar dan akhirnya mendengar kalimat “bojomu gak gelem ta? (istrimu tidak mau ta?)” Glek! Nama saya akhirnya disebut meskipun penolakan itu dari saya dan suami, sampai malam pun belum ada kesepakatan antara saya dan mertua. Hingga akhirnya saya keluar kamar untuk ambil wudhu sholat isya’, ceramah yang cenderung makian ditujukan oleh para tetua bahkan tetangga yang tidak ada hubungan darah dengan keluarga suami. “Aturan modern kuwi gak berlaku mbak, sing penting kuwi siraman timbang pengajiane, wong ngene iki percoyo mbek leluhur, wong modern percoyo sopo? (Aturan modern itu tidak berlaku mbak, yang penting malah siraman daripada pengajian, kami ini percaya leluhur, orang modern percaya siapa?)” Okelah, sepertinya memang saya yang harus mengalah lagi karena rasanya tidak akan pernah memang melawan orang yang tidak percaya Tuhan. Saya pun diskusi dengan suami dan sepakat untuk mandi kembang asal di kamar mandi dan hanya disiram oleh ibu mertua saya, meski berat tapi deal! Karena memang kami dimandikan secara bersamaan di dalam kamar mandi maka kami membulatkan tekad untuk berniat mandi plus plus daripada mandi kembang seperti tujuan awalnya, haha.
Baca Juga : Ngidam, Fakta atau Mitos?
- Perkara sebutir telur yang jatuh saat mandi kembang mempengaruhi jenis kelamin calon anak. Jadi saat mandi kembang tersebut, ibu mertua juga menyiramkan air berisi satu telur ayam mentah ke dalam daster yang saya kenakan. Mitosnya, jika telur ayam tersebut jatuh dan pecah maka calon anak adalah laki - laki, jika tidak pecah maka calon anak adalah perempuan. Logikanya, telur ayam yang jatuh dari ketinggan lebih dari satu meter pasti pecah dan nyatanya telur ayam tersebut nyangkut di atas perut saya, haha. Akhirnya saya melonggarkan daster agar sang telur jatuh, pecah deh, hehe.
- Dua kelapa cengkir atau kelapa muda warna kuning diukir dengan tulisan arab agar anaknya selamat. Dalam pelaksanaannya saya dan suami hanya duduk manis di hadapan “pak ustad” yang berbicara dengan bahasa jawa halus yang tidak kami mengerti. Sedangkan saat acara tingkeban di rumah saya, kelapa tersebut dijadikan rujak hehe.
Jajan adat tingkeban: polo pendem (umbi dan kacang), rujak, procot (ketan) |
Itulah adat tingkeban di Jawa yang dilaksanakan di rumah mertua,
memang ada pengajian tapi di belakang banyak sekali upacara adat kejawen yang
dilaksanakan. Sedih, dong, masih di dalam perut saja calon bayi sudah diikutkan
adat yang bisa mendustakan Tuhan. Sedangkan adat tingkeban di rumah saya
sendiri hanya pengajian ibu - ibu komplek dengan rangkaian acara calon ibu diminta
ikut ngaji surat Yusuf dan Maryam dilanjutkan dengan diba’an atau sholawatan
lalu ceramah tentang walimatul hamli.
Sudah itu saja, tidak ada upacara adat klenik karena ibu saya sendiri juga
menolaknya. Kami memang orang modern tapi bukan berarti kami tidak menghargai
adat istiadat, boleh saja diikut asal niatnya tetap tertuju pada Tuhan, kami
memang tidak percaya leluhur karena kami percaya Allah. Susahnya memutus mata
rantai adat kejawen seperti ini.
Oya mbak ayu, melaksanakan syukuran 7 bulanan ini di haruskan atau nggak sih mbak? soalnya bibi saya lagi hamil sekarang sudah memasuki usia kandungan ke 9 bulan kayanya tapi saya lihat waktu usia kandungannya 7 bulan nggak mengadakan syukuran :(
ReplyDeletekalo dalam islam gak ada mba Wida, kalopun mau ngadakan syukuran niatnya juga sodaqoh :)
DeleteMba Ayu tinggalnya di mana to? Sama persis kaya adat di kampungku di Kebumen sana. Tapi di tempatku ada tambahan satu lagi, yaitu pake belut yang dimasukin ke daster si ibu hamil. Katanya biar lahirnya gampang, licin kaya belut. Alhamdulillah aku tinggal jauh dari ortu, jadi nggak pake gini2an :D
ReplyDeletemertua surabaya mbak tp ya masih banyak kleniknya hehe
Deletelhaa kok serem belut dimasukkan daster >.<
Sekarang ada acara adat spapun kok selalu diisi pengajian yaa...budaya asli gk keliatsn dong
ReplyDeleteaku pilih pengajian gak pake adat mas :)
DeleteSusah emang kalo debat sama tetua yang masih percaya adat ya mbak. Bahkan kadang kalo di kampung ada orang yang dikatakan pak kyai tapi juga melakukan ritual yang syirik. Saya pernah dipaksa orang tua ruwatan di rumah pak kyai, ada tahlilan, eh ada siram-siraman juga yang mengharuskan buka jilbab. Ujungnya saya malah berantem nggak ngomong sama ibu saya selama seminggu lebih, semua uborampe dari yang katanya pak kyai itu aku buang saking keselnya.
ReplyDeletenah benerrr mbakk,, pak ustadz kemarin juga baca doa tp kok dihadapan kelapa muda hiisshh
Deletewah ribet juga ya mak, aku wktu 4 bulanan cuma pengajian aja..
ReplyDeleteiya mba, kalo di rumah sendiri juga pengajian aja
Deletedi sunda juga ada mba adat begitu, namanya aja yg beda
ReplyDeleteintinya sih syukuran, ada syukuran 4 bulanan sama 7 bulanan, sama aja :)
pake adat2 juga gak mas?
DeleteKalo aku dulu cuma kirim makanan aja ke tetangga pas usia kehamilan empat bulanan, eh bukan aku sih, ortuku hehe.
ReplyDelete4 bulanan aku gak ada mbak, hehe
Deletekearifan lokal yang sudah ditinggalakan ya, hanay segelintir orang saja yang mengikutinya
ReplyDeleteasal adatnya gak melenceng dari agama insyaallah masih banyak yg mengikuti mba
Deletengeliat jajanan tingkeban jadi laper....
ReplyDeleteyuikk mari disantap mbaa :D
Deleteyang namanya budaya dan adat istiadat pasti ada pro kontranya mbak, yang penting kita tetap menghargai warisan leluhur :)
ReplyDeletekalau masalah tanggal, akupun berencana kalau menikah nanti g usah pake tanggal2 jawa. yang penting pas hari libur, biar tamu2nya bisa dateng :)
saya menghargai mba asal gak ada acara yg melenceng dari agama :)
DeleteKak Cit semoga dedeknya dan bundanya selalu dalam keadaan baik, ya. Buat ayahnya juga biar makin semangat. Yeay! Emang ribet banget, ya, kalo udah berurusan sama adat. Di sastra Indonesia, banyak banget matkul yang ngebahas soal adat dan bagaimana masyarakat menyikapinya. Tapi, aku paling setuju sama mata kuliah kajian budaya, sih. Hal-hal begituan hanya wacana aja, di balik itu ada unsur lain yang tetap ingin dipertahankan masyarakat tradisional, seperti kekerabatan misalnya. Hehehe.
ReplyDeleteKapan kita ketemu lagi uwuwuwuw anen :*
haiii,, jadi mata kuliah ya? aku baru tau dong haha
Deleteiya sih, Wi, asal masih menghargai warisan budaya gapapa yang penting gak melenceng dari agama.
sinii main ke sampitttt :D
wah, aku belum pernah bikin acara syukuran kalo lagi hamil mb
ReplyDeleteniat sedekah aja mbah biar berkah dan gak syirik
DeleteKalau telurnya jatuh dan pecah, terus rasa rujaknya enak gimana dong, Mbak? mungkin anaknya kembar laki-perempuan hehe...beberapa adat memang rawan dengan mitos saja :D
ReplyDeletewkwkkw.. benerrr.. rawan mitos banget.. lempeng aja makanya
DeleteAku pake tingkepan juga hamil 4 bulan, mba. Ke kampung halaman suami. Tapi ada pengajian juga. Keinginan mertua. Untuk mandi dilakukan secara tertutup. Baru tahu kalo harus mandi secara terbuka. Hihii
ReplyDeleteaku juga tertutup mba, awalnya bumer minta terbuka, saya mah ogah bangetttt
Deleteayu sendiri asli mana?
ReplyDeletesaya juga dulu manut aja sama mertua, daripada ribut hehehe
kalau mami saya malah biasa2 aja.. ga ada ribet gimana2 :D
aku sidoarjo, mba, kalo mertua surabaya, padahal sudah kota tapi adatny gak bisa ilang haha
DeleteHahaha Yu dibawa santai ajalah jadi seru-seruan aja :p jadiin bahan tulisan buat blog ya udah ^^
ReplyDeleteTapi serem juga ya mandi malam hehehe... kalau di sini siramannya pagi. Pake kembennya wajib toh?
ihh aku keselnya kalo uda diomel omel itu loh mbak, dih gak rela.
Deleteaku gak jadi pake kemben, jadinya pake daster hahaha
Baca al-Qurán, baca shalawat, dzikir, dan pengajian inti acara yang baik bagi pertumbuhan spritual anak. Semoga sehat selalu, lancar dalam persalinan, dan dikaruniai anak yg shalih/shalihah. Aamiin
ReplyDeleteaamiin aamiin.. terima kasih
DeleteYg penting niat di dlm hatinya hanya minta rida Allah ya
ReplyDeletetingkeban itu niatnya syukuran,, gk wajib
ReplyDeletejelasnya kaya kita sodaqoh ya mbk?
Sepakat mbak kita boleh saja melakukakn adat asalkan gak yang aneh-aneh dan tidak melenceng dari perintah agama hehe.
ReplyDeleteSemoga segala yang kita lakukan selalu mendapatkan ridha dari Allah amiin. :D
menarik, adat yang perlu diapresiasi
ReplyDeletesemua amal tergantung pada niatnya, niatnya buat sedekah aja mba
ReplyDeleteAcara yang berbau isami saat ini tidak lepas dari perjuangan para Wali Alloh yang ada id Indoensia
ReplyDelete