Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan menikmati masa putih biru-ku bersama mereka yang telah memberiku tempat berteduh. Meski hanya beralas kardus dan berselimut sarung lusuh yang kupungut dari gerobak pak tua yang sedang menggigil kedinginan di ujung toko seberang. Ah, jangan tanya mengapa. Mungkin, merekalah yang tak mengerti jalan seperti apa yang ada di kepalaku.
Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan bertemu dengan bidadari cantik yang setiap pagi rela bersalaman dengan gemuruh kereta api hanya untuk mendidihkan air bakal kopi pahitku. Sementara aku, duduk ditepi pagar besi dan memeriksa senar gitar usang yang kudapat di toko Bang Apoi, seratus lima puluh ribu. Cukup mahal bagiku.
Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin tak akan kudengar emosi juniorku yang sedang berjuang membelaku. “Bapak Re bukan penjahat! Bapak Re itu orang baik, kalian yang jahat!” begitulah. Mungkin juga aku tak akan mendapat surat peringatan beruntun karena Re terlambat melunasi uang SPP di sekolahnya. Ah, atau mungkin juga aku tak akan melihat kepala Re harus dijahit berulang kali.
Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan melihat Re menjadi bengal sepertiku dulu. Sudah dua gadis mengadu pada istriku sambil tersedu. Re telah memberiku dua cucu padahal usianya belum genap dua puluh. Sungguh, itulah yang dulu pernah aku lakukan pada istriku. Re memang anakku, mirip sepertiku.
Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan melihat kuburan istriku yang selalu kutabur bunga sembarang setiap minggu. Meski telah kuberikan satu ginjalku untuk menebus berpuluh obat di rumah sakit yang katanya bisa menyelamatkan nyawa bidadariku. Tidak, mereka bohong. Tuhan telah mengambil ratu hatiku saat usia senja mulai menyapaku.
Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan melihat kembali koleksi perjalanan kelam hidupku. Cahaya yang membawaku melihat jutaan memori masa lalu membuat hidupku kini semakin pilu. Partikel cinta yang telah dikobarkan bapak ibuku tak pernah kugugu. Sekarang hanya ada kebaikan tetanggaku, bertalu-talu mereka mengerubungiku. Gendang telingaku berdesing, mendengar segerombolan mulut membicarakanku.
“Kemana si Rehan? Seharusnya dia mengaji untuk bapaknya yang sudah sekarat ini!”
“Panggil saja imam di mushola seberang, kita bayar dia agar mau membacakan do’a untuknya. Biar kalau mati gak gentayangan!”
Kalau saja aku tak kabur dari rumah, waktu itu.
*****
373 kata
so sad :((
ReplyDeletetapi gak ngetwist >.<
DeleteKalo aku sekarang jadi males mikir twist. Yang penting bikin bhahahaks (noichil memang ndak punya ambisi)
ReplyDeleteNice story, Ayu ^^
heheheh.. kalo gak ngtweist gak jadi FF nanti mbak :D
Deletepenyesalan memang selalu datang terlambat..hiks..
ReplyDeleteKebanyakan manusia seperti itu ya Bund? >.<
Deletehidup adalah pilihan, dan kadang kita memilih yang salah ...
ReplyDeleteceritanya bagus ...
kadang pada saat memilih kita menganggap pilihan itu benar :P
Deleteinilah kenyataan, artikel nya bagus, enak membacanya. Salam.
ReplyDeleteTerima kasih :)
DeleteKalo aja gue gak maen ke sini, pasti gue gak bisa ngeliat perjalanan hidup ngalir dengan keren kayak gini! Thumbs up... ^_^
ReplyDeleteTerima kasih Bang :D
DeleteKalau saja judulnya Kalau Saja Aku Tidak Kabur dari Rumah ...
ReplyDeleteLumayan laah
Judulnya dibikin singkat aja :)
Deleteah suka, walupun akhirnya sedih :(
ReplyDeletehihi terima kasih :)
DeleteAh... Sedih kisah si bapak ini.. :(
ReplyDeleteHeuu iya mbak :(
Deletesuka suka sukaa..
ReplyDeletesalam kenal ya ayu,aku suka baca ceritanya :p
terima kasih, salam kenal juga mbak :)
DeleteKmrn udah baca tp komen susah. skrg bs komen. yey *geje
ReplyDeleteJangan menyesali hidup apalagi disaat terakhir. Eh
haahahha. thanks Jun :)
DeleteDuh...asyik bgt bacanya. Keren lho cerita ini, aku suka, mengalir dan bikin pembaca terbawa suasana *tsaaah*. Keep writing ya ;)
ReplyDeleteAhhh.. senengnya.. pas lai Oke ini otaknya hihi
Deletemakasihbanyak Mbak Rin :)
Keren yu suka banget, ceritanya ngalir sampe gak sempat kesandung neh hehe
ReplyDeletewah ... pantas saja jadi juara ya...
ReplyDeletesarat bener ceritanya... padahal pendek, ringkas dan seumpama prosa...
seperti monolog
..
tapi hebat....
artikelnya yang keren!
ReplyDelete