[BeraniCerita #30] Bangku Tunggu Yang Menua

credit
Mentari masih saja malu untuk menampakkan wajahnya pada dunia. Kehangatan masih enggan untuk menyelimuti tubuh yang sudah kepalang dingin oleh embun pagi dan mendung yang tak kunjung pergi. Dengan mantap kujejakkan kakiku setapak demi setapak menuju deretan bangku tunggu yang terlanjur menua. Di sudut peron itu, seperti biasa, tempatku menunggu.

Perjalanan ini adalah kisah yang kutitipkan pada gerbong kereta yang dengan patuh mengikuti kemana lokomotif berarah. Perjalanan ini akan berhenti ketika peluit menjerit memekakkan telinga, untuk sementara. Dan akan berlanjut saat peluit itu kembali bersautan tanpa henti.

Itulah kisah kita. Jarak yang memisahkan dan sang waktu yang menghubungkan.

Di peron ini, aku menyunggingkan senyum dengan paksa. Mengantarmu menjeput asa. Di sana. Kota baru untukmu, Jakarta.

Di bangku yang menua ini, aku memandang keretamu melaju tanpa ragu. Tak peduli dengan carut marut puluhan manusia dengan berbagai cerita. Mungkin, wanita di ujung sana seperti diriku, mengantar kepergian kekasih menjemput asa.

Di gerbong itu, kutitipkan rindu untukmu. Rindu yang tak akan menua.

Perjalanan ini masih saja terukir dengan indah, saat kau yang selalu kudamba melangkahkan tapak pertama dari dalam kereta api Senja Utama. Dan aku masih sama, duduk di bangku tua yang menjadi saksi ribuan pertemuan kita. Jutaan cerita masih mengalir dengan indah. Asa yang berhasil kau renggut membuatku semakin terpesona.

“Tunggu aku. Aku akan menjemputmu jika posisiku di pabrik itu menjadi lebih tinggi.” Katamu saat aku kembali mengantarkan kepergianmu entah yang keberapa kali. 

Ada kerenyahan tawa di sudut peron ini. Ada kata yang sengaja kutahan dari bibir ini saat kita bersama mengulas cinta di bangku tunggu yang kian menua. Biarkan saja seperti ini, aku bahagia melihatmu tertawa, bersamaku.

Bangku tunggu di sudut peron ini semakin mengeriput. Bongkahan besi semakin legam penuh karat. Hanya saja, seharusnya cintaku padamu tak pernah berkarat.

Penantianku untukmu seharusnya tak pernah sia-sia. Prestasimu melambung tinggi bagai elang yang mengarungi angkasa. Senja Utama pun tak pernah lelah mengantarkanmu kembali padaku walau untuk sementara. 

Ning stasiun Balapan
Kuto Solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu

Ning stasiun Balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal aku
Ra kroso netes eluh ning pipiku

Alunan lagu itu tak pernah bosan berirama. Setiap saat kujemput keretamu, lagu itu menemaniku mengusir jemu. Pun saat kuantar keretamu, suara Didi Kempot seperti sedang mengerti perasaanku.

Hanya saja, kali ini akan berbeda. Kereta itu datang, bukan lagi Senja Utama. Dari arah barat kulihat lampu kecil berkelip, kereta Argo Dwipangga akan segera menderitkan gesekan dengan rel di depan peron tua.

Di sudut peron itu, seperti biasa, tempatku menunggu. Ah, kekasihku yang selalu kurindu. Langkahmu terurai mantap menuju bangku tua tempatku tersenyum paksa.

Kata yang sekian tahun kutahan akan kuucap untukmu. Demi perjalanan yang telah terukir dari jutaan gerbong kereta. Demi waktu yang telah terjajah oleh ribuan kilometer yang memisahkan kita.

“Aku harus sepakat dengan bapak, tenda biruku akan dipasang besok lusa. Datanglah.”

***
465 kata

11 comments:

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar Anda ^.^