Wedding Organizer, Perlukah?

Wedding Organizer, Perlukah?

Sebelumnya saya sangat anti jika mendengar kata WO, padahal saya sendiri sering dipercaya menjadi bagian dari planner. Nah, berbekal dari banyaknya pengalaman merancang serangkaian acara itulah saya sombongkan diri untuk memutuskan mengurus pernikahan secara mandiri, tanpa banatuan WO. Alasannya gampang saja, jasa WO itu mahal. Terlebih lagi saya dan calon suami melaksanakan pesta pernikahan dengan biaya mandiri tanpa bantuan dana dari orang tua, jadi sebisa mungkin berhemat. Segalanya berjalan lancar 2 bulan seusai lamaran, namun pada postingan ini saya menjelaskan bahwa jarak adalah hambatan terbesar untuk mengurusi segala macam hal yang cukup membuat stress. Komunikasi dengan vendor pernikahan hanya bisa dilakukan melaui telepon, sms, dan email. Sedangkan saya butuh untuk melihat secara langsung barang dan produk yang harus digunakan untuk pesta. Dan, menyerahlah saya.

Berawal dari penemuan gedung yang pas di hati dan di harga, ternyata pengelola gedung tersebut seorang wedding planner yang menawarkan bantuan untuk mengurusi persiapan pesta pernikahan kami. Saya dan si mas tidak langsung setuju memang karena menimbang paket harga yang diberikan. Selang 2 minggu, ibu saya mengabarkan harga baru hasil kongkalikong beliau dengan pemilik WO. "Oke, Mah, Deal!", alasan utama harga terjangkau (tidak keluar dari budget yang kami tentukan) yang sudah termasuk jasa mereka untuk mempersiapkan pesta kami. Dan alasan lainnya yang sudah saya rasakan adalah:

Berlari Untuk Kesehatan Jantung

night run
Night Run pas acara #SAFERUNNING bersama Pocari Sweat
Di Indonesia, menurut Yayasan Jantung Indonesia, angka kematian akibat penyakit jantung mencapai 12% dari 240 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia setiap tahun. Dari jumlah tersebut, hampir 50% pengidapnya ternyata adalah penduduk berusia 30-50, yang merupakan usia produktif. (sumber)

Selamat ya, Mas

Wisuda Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
ini siapa yang wisuda, hayo?
Alhamdulillah...
Satu amanah besar telah hadir kembali. Selamat ya, Mas sudah menyandang gelar sarjana.

Premarital Syndrome


Do I have to continue this marriage?
Pertanyaan itu akhir-akhir ini muncul saat semua persiapan sudah hampir selesai. Rasanya pengen kabur saja kalo ditanya orang tentang persiapan nikah yang super ribet itu. Kenapa harus mengeluarkan puluhan juta uang hanya untuk meriahnya pesta semalam. Kenapa harus menikah dengan dia yang belum tentu akan memberikan kebahagiaan untuk saya? Kenapa harus mengorbankan masa depan untuk hidup melayani laki-laki yang mungkin suatu saat nanti akan marah kepada saya? Kenapa harus dia? Ya, begitulah otak saya berpikir beberapa hari ini. Setelah lamaran, semua emosi berjalan mulus, sesuai dengan yang saya harapkan. Namun, sebulan menjelang pernikahan, emosi saya berubah total. Saya menjadi orang lain yang saya sendiri tidak mengenalinya. Apakah saya terkena Premarital Syndrome? Atau bridezilla yang kadang saya menyebutnya bride to be gila.