Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

[BeraniCerita #30] Bangku Tunggu Yang Menua

credit
Mentari masih saja malu untuk menampakkan wajahnya pada dunia. Kehangatan masih enggan untuk menyelimuti tubuh yang sudah kepalang dingin oleh embun pagi dan mendung yang tak kunjung pergi. Dengan mantap kujejakkan kakiku setapak demi setapak menuju deretan bangku tunggu yang terlanjur menua. Di sudut peron itu, seperti biasa, tempatku menunggu.

Perjalanan ini adalah kisah yang kutitipkan pada gerbong kereta yang dengan patuh mengikuti kemana lokomotif berarah. Perjalanan ini akan berhenti ketika peluit menjerit memekakkan telinga, untuk sementara. Dan akan berlanjut saat peluit itu kembali bersautan tanpa henti.

[FlashFiction] Wanitaku

WARNING: 18+

Aku tetap setia menunggu wanitaku di ujung gang kecil tepat di depan rumah kaca tempatnya berdiri saat ini. Dia terlihat dari balik rumah kaca bak boneka dari balik etalase toko busana. Tubuhnya yang putih mulus seperti manekin yang mengenakan baju berwarna cerah dan gemerlap. Hanya saja, sebagian saja dari tubuhnya yang tertutup tak rapat oleh kain berwarna kuning menyala itu. Dada dan pahanya terlihat sempurna oleh setiap mata yang sedang menelanjangi tubuhnya dengan bebas.

Tak lama kulihat seorang pria botak dan berkumis tebal meraba setiap jengkal bagian tubuhnya. Mulut dan tangan pria itu bekerja kooperatif. Mulutnya mendarat tepat di atas dada, dan kedua tangannya telah bebas menjamah selangkangan wanitaku.

Kulihat mereka berdua berjalan beriringan ke dalam kamar.

Saat seperti itu yang selalu membuat dadaku semakin panas, saat wanitaku sudah berjalan ke dalam kamar bersama pria lain. Mereka pasti bercumbu. Ah, bukan. Wanitaku selalu menjadi budak nafsu para pria yang tak pernah puas dengan istri mereka di rumah. Pria yang selalu memberikan siksaan atas nama kepuasan nafsu yang mereka inginkan.

[Prompt #23][BeraniCerita #24] Vivienne

Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Aku mengusap lembut rambut hitam panjangnya. Vivienne mengangkat kepala menatapku. Matanya berbicara padaku.

"Sudah berapa lama usianya?"

"Tujuh minggu. Mungkin."

"Kalau begitu, gugurkan!"

"Bangsat, kau!"

Vivienne berdiri dan menjauh dariku, isak tangisnya semakin membahana. Aku terpekur sejenak, lalu berjalan ke arah Vivienne dan memeluknya, melingkarkan kedua tanganku tepat di atas perutnya.

"Ceraikan suamimu!"

"Tidak! Aku mencintainya. Kau tahu, aku telah mencintainya sejak 15 tahun yang lalu."

Aku menarik nafas panjang lalu kembali berbicara pada Vivienne. Semoga kali ini dia mengikuti kemauanku.

"Sayang, katakan pada suamimu bahwa bayi ini miliknya. Bukankah ini adalah bayi yang kalian tunggu selama 15 tahun?"

Vivienne tak menjawab tapi kembali menghambur ke dalam pelukanku dan semakin dalam.

***

[Prompt# 22] Makan Malam Ha Ni

credit
Aku mengamit lengannya dengan sangat kuat, aku pun berjalan sedikit terseok dengan mata tertutup.  Semilir angin mengibaskan helaian dress merah yang aku kenakan, begitu pun dengan rambut panjangku yang kugerai bebas.

Setelah Sung Jo membuka penutup mataku, tiga lilin panjang yang pertama kali kulihat. Berlanjut dengan hidangan mewah yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

[FlashFiction] Puber Kedua

“Bapak gak mau tinggal di panti jompo, Nduk. Bapak ya gak mau bikin susah kalian terus.”

Ndak apa-apa tho, Pak. Ikut saya saja, biar ada yang ngurusi Bapak.” Jawabku menolak keputusannya.

“Lha iyo, Nduk. Kan ya sama saja, tho?”

Aku dan suamiku masih tak percaya dengan keputusan gila yang baru saja dikatakan oleh Bapak.

“Bapak kesepian, Nduk. Kalau tidur gak ada yang ngeloni.”

[BeraniCerita #17] Tanda Cinta

Sepi, itu yang dirasakan Roni siang itu. Mungkin hanya beberapa anak saja yang berseliweran di lorong kelas saat jam ketiga. 

"Kesempatan. Mumpung sepi."

Roni tersenyum sambil bersyukur dalam hati karena sepertinya suasana sedang berpihak padanya. Diambilnya sebuah kursi, lalu membuka sebuah jendela kelas 8-H yang sudah rusak.

Dalam sekejap kakinya sudah menapak di lantai kelas. Matanya menelisik sekitar dan menuju ke bangku nomor dua di sebelah kanan. Tas selempang merah jambu bermotif bunga tepat dalam pandangannya.

Lalu diambilnya sebuah kotak kecil dari saku kanannya. Kotak kecil yang terbungkus manis, kertas kado berwana merah jambu dan bermotif bunga. Sebuah pita merah pun menambah manisnya kado kecil ini. Sebuah tanda cinta untuk perempuan yang beberapa hari ini telah mengganggu pikirannya.

"Kamu pasti akan menyukainya, Ayu."

Setelah memasukkan kotak itu ke dalam tas merah jambu dan puas tersenyum kecil, Roni kembali meninggalkan ruang kelas dengan melewati jendela. Ada perasaan lega terpancar dari senyum sunggingnya.

Keesokan harinya.

Seorang gadis muda berkacamata tebal dengan rambut kepang dua mondar mandir melewati kelas Roni, 8-F. Wajahnya meringis memperlihatkan giginya yang berpagar besi. Sesekali terlihat langkah kakinya yang cepat.

"Bu! Saya ijin ke toilet." Teriak Roni.

Seakan tak mau ketinggalan langkah cepat gadis itu, Roni pun menambah kecepatan langkahnya. Dengan setengah berlari akhirnya Roni tepat di belakang punggung gadis itu.

"Ayu!!"

Gadis itu menoleh ke arah Roni dan tetap memperlihatkan wajahnya yang meringis.

"I...iya, Ron. Ada apa? Sebentar ya, udah kebelet."

"Yes."

Hatinya berlonjak gembira dapat melihat Ayu, gadis yang diincarnya. Dengan santai Roni kembali ke dalam kelasnya dan menyunggingkan seutas senyum kemenangan. Rasa puas yang berlipat karena Ayu telah menerima tanda cinta darinya, meski Ayu tak tahu bahwa Roni pengirimnya.

"Salah sendiri mengalahkan nilai ujianku semester lalu. Rasakan tuh mencret-mencret!" Begitu hati Roni berbicara pada dirinya sendiri.

******
290 kata

[Prompt #17] Pak Guru Juga Manusia

Ada yang mengganjal perasaanku hari ini setelah kejadian semalam. Sedari di kelas tadi, aku tak kuasa untuk terus memperhatikannya. Wajahnya memang cantik.

Dengan seragam SMP yang dia kenakan, wajah polosnya terlihat dengan jelas. Tapi dari balik seragamnya itu, dadanya terlihat penuh dan berisi. Sama halnya dengan foto yang membuatku terperangah semalaman. Kaos merah ketat dengan potongan leher yang lebar membuat jantungku tak karuan. Muridku yang satu ini memang cantik, mungkin juga tercantik.

Rasa penasaranku kembali membara. Posisiku duduk di atas kasur lebar ini sudah cukup membuatku nyaman untuk memandangai kecantikan muridku yang satu ini. Otakku semakin segar setelah melihat foto-fotonya yang lain. Gayanya macam-macam, tapi yang membuat aku semakin gusar adalah celana pendek dan kaos kuning tanpa bahu yang dia gunakan saat berfoto di Bali. Segar sekali.

Pikiranku semakin tak karuan. Apa yang telah aku lakukan pada muridku ini. Antara nikmat melihat gadis muda yang sangat cantik dan peranku sebagai seorang pendidik. Ah, malam ini saja, bathinku. Mumpung istriku sedang pengajian, jadi tak ada salahnya aku menyegarkan mata sejenak.

Aku melanjutkan menikmati foto-foto gadis muda cantik, sesekali terlihat fotonya bersama teman sekelasnya yang juga tak kalah cantik. Tapi dia tetap yang tercantik bagiku, tubuhnya juga bagus.

Tak lama kudengar pintu rumah terbuka, mungkin istriku yang baru pulang pengajian. Ya, pengajian. Astaghfirullah. Salah kaprah.

Segera aku mengambil ponsel dan mencari nama Alya di kontakku.

Alya, kalo upload foto di facebook yang sopan ya. Pak Anwar.

Lalu aku menutup akun facebook yang bernama Alya Imoetz dan mematikan laptopku.

******
246 kata

[BeraniCerita #16] Suporter Bola

Suporter Bola
credit
Aku tak pernah meminta dengan kehidupan model begini. Apa-apa susah. Bapakku cuma tukang becak, ibuku petani yang setiap hari menggarap ladang kecil berisi sawi. Ya, bisa dipastikan setiap hari yang tersaji di balik tudung di atas meja adalah sawi. Paling keren sebagai lauknya itu sayap ayam, sebulan sekali. Kalau setiap harinya ya tahu tempe atau ikan pindang di goreng renyah.

Aku seorang siswa yang tiap bulan harus telat satu minggu untuk membayar SPP. Tapi bulan ini, egoku sedang diuji. Sebuah peperangan batin yang sangat kuat dan tak bisa aku hindari. Ditambah hasutan teman-temanku yang membuat nafsuku semakin membara.

"Ayolah, Ron. Ini kesempatanmu. Katanya kau seorang Liverpudlian, buktikan dong!"

"Betul, Sob. Bayar SPP dobel bulan depan aja."

"Kalau orang tuaku menanyakan uangnya kemana, aku harus jawab apa?"

"Halaaahhhh.. Bilang aja ada iuran mendadak atau beli buku. Nanti sore kita langsung beli tiketnya, oke?"

Hatiku memanas, hidungku kembang kempis melawan amarah yang ada di dalam diriku sendiri. Kulihat 5 lembar uang lima puluh ribu dan beberapa receh yang sudah lusuh dalam dompet hitamku yang telah memudar. Seketika bayangan tubuh bongkok ibuku yang sedang memanggul sekarung sawi terlintas di hadapanku. Cucuran keringat bapak di kala maghrib pun turut andil mengaduk emosiku.

Dalam hati aku berdo'a.

Tuhan, maafkan aku. Lancarkan rejeki orang tuaku.

*****

Aku sudah nampak mentereng dengan seragam Liverpool KW yang kubeli murah di pasar malam. Masih satu jam lagi sebelum pertandingan dimulai, tapi suasana riuh telah menyemarakkan stadion bola yang megah itu. Lautan merah dimana-mana. Suporter Indonesia dan Liverpool sama-sama berkostum merah, pantas.

[Prompt #16] Kenya, Anakku

credit: dokumen pribadi Hana Sugiharti
Seperti biasa, sore hari setelah memandikannya, aku mengajak Kenya bermain sembarang di ruang tamu. Kadang menata balok-balok kayu mainan atau sekedar mengajarkannya kosa kata baru.

"Kenya... Bunda mana, Nak?"

"Baa."

Sambil menunjukkan deretan gigi mungil dan bersih, Kenya berusaha untuk menyebut namaku. Cuma itulah kata yang keluar dari mulut Kenya saat aku menyebut kata 'bunda'. Momen seperti inilah yang sangat aku suka, sembari menunggu ayahnya pulang ke rumah, aku bercengkrama dengan Kenya tentunya dengan bahasa yang hanya dia sendiri yang menegrti.

Dengan mulut komat kamit seperti merapal sesuatu, aku memperhatikan bidadari kecilku ini memainkan tongkat peri mainan yang dibelikan ayahnya. Seketika dia berdiri dengan mulut terus bergumam lalu menoleh ke arah jendela di samping pintu rumah. Kakinya mulai bergerak dan berjalan sedikit cepat ke arah jendela.

Aku memperhatikan tingkahnya, aku ingin tahu seberapa jauh perkembangan Kenya.

Sambil berjinjit Kenya terus berjalan keluar rumah dan berhenti tepat di depan jendela besar di samping pintu rumah. Tangan kanan yang memegang tongkat peri diayunkan ke kanan dan ke kiri. Aku melihatnya dari balik jendela, kepalanya sedikit terangkat dan wajahnya meringis dan mulutnya tetap berkomat kamit. Sedang apa kau ini, Nak? bathinku. Aku terus memperhatikannya, Kenya kemudian jongkok di depan jendela, tangan kirinya berpegang pada kusen jendela yang cukup rendah untuk diraihnya.

"Kenya, kenapa?"

Tanyaku yang kemudian duduk bersimpuh tepat di hadapannya. Aku tak dihiraunya, mulutnya terus merapal kata yang tak kumengerti dan wajahnya meringis.

"Ba. Baa."

Hanya kata itu yang kudengar jelas. Kurasa, Kenya ingin menyampaikan sesuatu padaku. Maksud hati ingin segera menggendongnya, namun Kenya berontak enggan. Ditolaknya tanganku kemudian dia berdiri dan berlari kecil ke dalam rumah dan berhenti di balik jendela.

[Prompt #16] Wanita Dibalik Jendela

credit
Ah, aku tahu mereka selalu membicarakanku saat melintas di depan rumah mungil ini. Mereka berhenti sejenak lalu menoleh ke arahku yang menyembulkan kepala dan setengah tubuhku dari balik jendela besar di depan rumah, seperti biasanya. Kulihat setiap mulut yang bergerak cepat dengan tatapan mata sedikit mengernyit, lalu ditimpali oleh mulut lainnya. Kemudian mereka berlalu dan sesekali menoleh lagi ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka, sesekali aku menganggukkan kepala saat mereka menatap ke arahku.

Yang lebih sering memang ibu-ibu sekitar kompleks rumahku. Biasanya ibu-ibu anggota pengajian yang lebih sering menyapaku. "Neng, kok gak pernah ikut pengajian lagi?" begitulah, dan aku hanya bisa tersenyum agak lebar menjawab pertanyaan itu. Kadang juga kulambaikan tanganku sambil tertawa lepas melihat mereka menegurku. Jika aku sedang kesal, maka kulempar gelas kaca ke arah mereka dari balik jendela.

Kata suamiku, aku tak mungkin bisa melakukan aktivitas di luar rumah termasuk mengikuti pengajian setiap malam Jum'at seperti dulu. "Nanti bikin malu", begitu katanya. Dia tak memperbolehkanku keluar rumah, hanya dari balik jendela ini aku melihat aktivitas warga. Ya, warga kampung memang belum tahu kondisiku setelah kecelakaan pada malam yang telah merenggut nyawa buah hatiku satu-satunya. Mereka pun belum tahu kondisi kakiku yang mengerikan ini. Kata suamiku, "Nanti kita diusir kalo mereka tahu." begitulah. Maka aku menghabiskan hariku hanya dari balik jendela ini.

Jika aku bosan menunggu suamiku pulang ke rumah, maka kucakari seluruh tubuhku dan kuacak rambut panjangku. Kondisi kakiku memang tak bisa membuat aku keluar rumah sehingga membuatku selalu bosan. Pergelangan kakiku selalu terasa nyeri dan kadang sakit sekali. Rantai besi yang melingkar sempurna di kaki kanan ini membekas sebuah lingkaran merah dan bernanah.

[BeraniCerita #15] Ironi

Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan menikmati masa putih biru-ku bersama mereka yang telah memberiku tempat berteduh. Meski hanya beralas kardus dan berselimut sarung lusuh yang kupungut dari gerobak pak tua yang sedang menggigil kedinginan di ujung toko seberang. Ah, jangan tanya mengapa. Mungkin, merekalah yang tak mengerti jalan seperti apa yang ada di kepalaku.

Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan bertemu dengan bidadari cantik yang setiap pagi rela bersalaman dengan gemuruh kereta api hanya untuk mendidihkan air bakal kopi pahitku. Sementara aku, duduk ditepi pagar besi dan memeriksa senar gitar usang yang kudapat di toko Bang Apoi, seratus lima puluh ribu. Cukup mahal bagiku.

Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin tak akan kudengar emosi juniorku yang sedang berjuang membelaku. “Bapak Re bukan penjahat! Bapak Re itu orang baik, kalian yang jahat!” begitulah. Mungkin juga aku tak akan mendapat surat peringatan beruntun karena Re terlambat melunasi uang SPP di sekolahnya. Ah, atau mungkin juga aku tak akan melihat kepala Re harus dijahit berulang kali.

Kalau saja aku tak kabur dari rumah.
Mungkin aku tak akan melihat Re menjadi bengal sepertiku dulu. Sudah dua gadis mengadu pada istriku sambil tersedu. Re telah memberiku dua cucu padahal usianya belum genap dua puluh. Sungguh, itulah yang dulu pernah aku lakukan pada istriku. Re memang anakku, mirip sepertiku.

[FlashFiction] Surat Untuk Bhirawa

Teruntuk Kapten Bhirawa,
Sekiranya sudah dua kali lebaran kau tak pulang ke rumah, meninggalkan istri cantikmu di kota ini. Tugasmu dengan seragam loreng itu memang mulia, Bhirawa. Kau laksana pahlawan bagi bangsa ini. Kegigihanmu memperjuangkan Indonesia di tanah perbatasan memang membuat petinggi negeri  ini tersenyum puas padamu. Keahlianmu memainkan bedhil di dalam rawa membuatmu menjadi kapten andalan yang tak tergantikan. Suara tegas dan derap kaki mantapmu tak pernah menciutkan nyalimu. Itu yang kutahu tentangmu, Bhirawa.

Bhirawa, sudah dua kali lebaran pula kau tak menyaksikan betapa kesepiannya istrimu di ranjang besar dan empuk yang telah kau belikan saat malam pertama. Bisa kau bayangkan tubuhnya menggigil dingin di tengah malam dan kau tak ada untuk memeluknya. Mungkin, saat itu kau sedang di rawa-rawa. Setiap pagi pula, masih ada asap yang mengepul dari balik dapurnya. Tapi, tak ada yang menemaninya bersantap pagi, pun siang dan malam. Sungguh kasihan, Bhirawa. Kenapa kau tak membawanya ke tanah perbatasan?

Kapten, masih ingatkah kau dengan surat cinta pertama yang dia kirimkan saat kau terkurung latihan di Kopassus? Surat yang mengatakan jawaban atas permintaanmu menjadikan dia pendamping seumur hidupmu. Wanita itu telah memilihmu, mungkin karena ketangguhanmu. Mungkin juga karena ketampananmu. Wanita itu telah berjanji setia menunggumu, membuka pintu saat kau kembali ke peraduan bersamanya. Tapi, aku rasa wanita itu kini lelah. Bhirawa, kini kau tak usah kuatir kepadanya. Akan kujaga dia dengan segenap jiwaku. Aku akan membuat harinya tak sepi lagi, aku akan membuat dirinya hangat di malam hari. Percayalah, Bhirawa. Semoga kau tetap menjadi kapten andalan di perbatasan.

*****

Tak perlu aku menunggu balasan surat dari Bhirawa, aku rasa dia akan setuju dengan kesepakatan ini. Bhirawa pasti juga tak inginkan istrinya menggigil dingin di malam-malamnya. Aku akan memboyong istrinya ke Surabaya, akan kuberikan kehangatan di malamnya yang panjang. Akan kuberi kenikmatan padanya, kenikmatan yang hanya diberikan sekali oleh Bhirawa, di malam pertamanya.

*****

Cerita  ini diikutsertakan pada Flash Fiction Writing Contest:Senandung Cinta

[BeraniCerita #14] Kucing Hitam

credit
Tubuhnya yang hitam kekar menggeliat di atas ranjang papan tanpa kasur, matanya membelalak ke seluruh penjuru rumahnya. Kumisnya yang tebal bersungut saat tak didapati istrinya di seluruh rumah.  Kemarahannya membuat wajahnya semakin legam. Mulutnya pun mulai menggerutu tak tentu. Meledaklah amarahnya seketika.

“AVANTI!! Dimana kau?”

Diulangnya sekali lagi menelisik ke seluruh penjuru rumahnya, namun tetap saja tak ditemukan keberadaan istrinya. Dia semakin geram, tangannya mengayun kursi kayu dan membantingnya ke tanah. Segala yang dilihat matanya menjadi sasaran kalapnya emosi.

Meong... Meong…

[Prompt #14] Dendam Sang Geisha

credit: dokumen pribadi Kartika Kusumastuti
Haruka menyadari lonceng di Kastil Kaerikumo berdentang pelan dan kemudian semakin nyaring hingga memekakkan telinganya. Mata Haruka bergerak seolah mengikuti sesuatu yang dilihatnya di atap kastil. Terlihat bayangan tubuh seseorang sedang melayang-layang di langit-langit kastil yang cukup terang. Bayangan itu berkelebat dengan cepat di atas kepala Haruka, seperti asap yang sedang berkumpul dan ingin melahapnya. Haruka menjerit sekenanya. Suara Haruka kalah, bayangan itu mengeluarkan suara berisik yang meredam dan menenggelamkan suara Haruka yang gemulai.

[BeraniCerita #13] Wawancara Kerja

Hari ini aku bangun lebih awal mendahului subuh. Aku mencoba untuk sedikit latihan berbicara di depan cermin. Dengan lantang dan tegas aku berbicara bak presenter handal yang sering aku lihat di layar televisi. Tak lama kudengar suara adzan subuh yang begitu nyaring dan merdu.

Setelan kemeja putih polos dan celana kain warna hitam serta rambut yang klimis telah siap menemaniku menjemput impian. Setelah kucium tangan lelah ibu dan bapak, aku beranjak pergi dengan hati yang sungguh buncah. Bismillahirrohmaanirrohiim. Langkah pertamaku mantap menaymbut mentari pagi yang memberi kehangatan di hati.

Pukul 8.30 pagi aku sudah duduk manis di ruang tunggu untuk menanti giliran wawancara kerja. Seorang laki-laki berjas hitam dan berkumis tipis terlihat memasuki ruangan yang mungkin akan menegangkan bagiku beberapa jam kedepan. Satu per satu peserta wawancara yang tak kala klimis dan cantik mulai masuk ke ruang wawancara. Dadaku semakin berdegup kencang menunggu giliran.

Muzakki Santoso… Peserta atas nama Muzakki Santoso.

Kepalaku sontak terangkat untuk mencari sosok yang sedang dicari oleh panitia wawancara. Diserunya nama itu berkali-kali namun tak kunjung kulihat empunya. Beberapa saat suara derap kaki yang padat dan lincah mendekat ke arah ruangan ini. Seorang laki-laki dengan rambut amburadul dan kemeja yang tak rapi dengan gesit muncul tepat di depan panitia. Wajah kesal tampak dari panitia wawancara kerja.

[FlashFiction] Suamiku

Lelaki ini bukan hanya membuatku jatuh cinta, namun juga mabuk kepayang. Bukan hanya cinta yang telah kuberikan padanya namun seluruh hidup dan jiwaku, segalanya. Dia sudah menjadi nyawa dalam hidupku. Aku tak bisa hidup tanpanya. Setiap dia menginginkanku, aku akan selalu ada untuknya. Apapun dan bagaimanapun kondisinya.

Lelaki itu adalah suami yang telah 2 bulan ini menjadi suamiku. Suami yang sangat aku dambakan selama ini. Sikapnya semakin manis padaku, memang dia orang yang sangat romantis. Kecupan-kecupan mesra selalu dia daratkan di bibir dan wajahku, hanya saja ada keganjilan dalam rumah tangga yang baru seumur jagung ini. Dia tak pernah mau berhubungan badan denganku. Alasannya beragam, namun lebih sering dia berkata lelah.

Aku memutuskan untuk segera menyelesaikan masalah rumah tangga kami.

Malam ini aku sengaja mengenakan lingerie merah transparan tanpa menggunakan pakaian dalam sehelai pun. Aku duduk di depannya dengan penuh gairah. Aku pastikan, suamiku dapat melihat seluruh isi tubuhku dengan jelas dan sempurna. Dan aku pun mulai meraba tubuhnya.

"Jangan sayang. Aku lelah, seharian kerjaan padat di kantor."

"Kenapa? Kenapa Mas selalu menolak berhubungan badan denganku? Aku ini istrimu Mas!"

Suamiku hanya diam, tatapan matanya kosong. Namun aku yakin dia punya jawaban yang bisa dia jelaskan padaku. Aku semakin penasaran dengan jawabannya. Hal yang telah membuatku gelisah.

"Apa Mas impoten?"

Dia menggeleng cepat. Seketika mulutnya terbuka seperti ingin mengungkapkan sebuah kebenaran.

"Aku mencintai orang lain, Dek."

Jedar. Seperti ada petir besar yang menyambar kepalaku. Hatiku hancur seketika, hatiku luluh lantah berkeping-keping. Aku menatap matanya dan seakan dia tahu bahwa aku bertanya siapa wanita itu.

"Besok siang akan aku pertemuan kamu dengan orang yang aku cintai itu. Sekarang tidurlah."

*****

Wanita di depanku ini sungguh cantik. Penampilannya berani, rok mini memperlihatkan paha mulusnya dan buah dada yang lebih besar dari milikku. Namun, kesenduan kulihat dari pancaran matanya. Aneh. Seharusnya kesenduan itu terlihat di mata kekasih yang ada di sampingnya, seorang lelaki yang tampan dan klimis.

Hanya ada kebisuan yang cukup lama, dengan berani aku membuka sebuah pertanyaan yang akan menetuntukan arah hidupku selanjutnya.

"Katakan, Mas. Apa dia wanita itu?"

Aku berderai air mata karena aku memang belum siap untuk patah hati. Hal yang sama juga kulihat dari pancaran mata wanita itu. Kenapa dia menangis? Dia yang telah merebut hati suamiku.

Tanpa banyak kata suamiku mulai bereaksi melihat deraian air mataku. Kulihat tangan suamiku terulur menuju pasangan di depan kami. Suamiku telah menggenggam erat tangan lelaki yang duduk di hadapannya.

Oh, Tuhan.

[Prompt #13] Pak Wo

credit: Dok. pribadi RinRin Indrianie
Keramaian warga semakin memuncak, pun dengan amarah yang tak tertahan lagi. Banyak warga yang sudah membekali diri dengan obor yang berkobar seakan siap melalap warung kecil pinggiran beserta pemiliknya. Terlihat beberapa sesepuh desa dan ustad yang mencoba untuk meredam amarah warga.

"Kita selesaikan baik-baik dulu. Saya dan pengurus desa lainnya akan menggeledah warung Pak Wo dan memeriksa lontong kupangnya."

"Halah. Kita semua sudah tau kalo Pak Wo ini punya jin agar dangangannya laku."

Warung Pak Wo memang terkenal, meskipun warungnya kecil dan di pinggiran jalan tapi warung lontong kupangnya selalu ramai oleh pengunjung. Tak jarang, pengunjung yang datang bisa menghabiskan 5 piring lontong kupang sekaligus. Warga berasumsi bahwa Pak wo memelihara jin sebagai penglaris warungnya.

Seorang warga menyeret Pak Wo keluar dari warungnya, sementara pengurus desa menggeledah paksa semua perkakas yang ada di dalam warung. Tak ada keganjilan sedikitpun yang ditemukan oleh pengurus desa. Sementara seorang ustad sedang sibuk berkomat kamit mengelilingi warung Pak Wo.

"Ampun Pak, Kulo mboten ngingu jin. Kulo cuman ndamel resep turunan saking leluhur."

"Kaspo sampeyan itu Pak Wo!"

Ustad pun mengatakan bahwa warung Pak Wo tidak ada jin sama sekali. Namun beberapa warga tetap berteriak saling bersahutan, mereka meminta agar Pak Wo di usir dan membakar warung miliknya. Serasa tak puas, seorang warga yang sedari tadi mencengkeram leher belakang Pak Wo balik badan dan menuju warung itu lagi.

"Panganan kuwi mesti diwenehi sempakmu yo ben enak?!" Teriaknya dari balik warung Pak Wo.

Pak Wo hanya menggeleng pasrah saat dandang kupangnya diaduk kasar lalu ditumpahkan ke lantai tanah warungnya. Amarah warga mulai menyusut saat tak ditemukan bukti kecurangan pak tua tersebut

Sesuai kesepakatan warga dan pengurus desa, akhirnya Pak Wo tetap dibiarkan tinggal di desa itu dan berdagang lontong kupang seperti sedia kala.

[BeraniCerita #12] Sepatu Curian

credit
Aku berusaha meyakinkan Abdul, temanku mengaji, agar mengurungkan niat mencuri sepatu merah yang sedang bertengger manis di pelataran masjid. Abdul berkeras hati untuk memungut sepatu yang menurutnya akan pas di kaki tanggungnya.

“Kau tau kan bapak dan emakku tak akan sanggup membelikan aku sepatu mahal itu.”

“Tapi kau tak boleh mencuri lah, Dul. Kau masih ingat kan apa kata Pak Ustad waktu ngaji kemarin? Mencuri itu perbuatan dosa, Dul.”

Abdul sepertinya sedang berpikir, namun matanya tak lepas dari sepatu merah yang dia inginkan. Aku menggenggam tangan Abdul dengan erat, kepalanya menoleh kearahku dan kutatap matanya lekat-lekat.

“Aku tak peduli. Cuih!”

Abdul beranjak dan tangannya menyambar sepatu merah di hadapannya. Aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan segera mengadu ke pak Ustad.

****

“Mau jadi apa kau nanti, hah? Dasar anak tak tahu diuntung. Pergi kau dari rumah ini!”

Bapak Abdul murka mengetahui anak semata wayangnya mencuri. Lantas, Abdul pun pergi dari rumah hanya dengan membawa sepatu merah curiannya.

[BeraniCerita #11] Kembalinya Cincin Ibu

credit
Wajah ibu pucat pasi, tangannya mengenggam erat cincin satu-satunya peninggalan mendiang bapak. Ibu berdiam diri sejenak di depan toko emas milik Koh Han. Terlihat bulir peluh yang mengalir cukup deras dari jemarinya saat menyerahkan cincin itu kepada Koh Han. Keputusan itu terlihat mudah bagi ibu, tapi aku tahu bahwa ada luka yang teramat dalam saat ibu merelakan tanda cintanya digadai.

Tak kulihat ada pilu yang menetes dari pelupuk senjanya. Sebaliknya, ada seutas senyum merekah dari bibirnya yang tak lagi ranum.

“Ndak apa-apa Nduk, yang penting kamu bisa ikut ujian. Kamu wes ndak usah kuatir ya Nduk, tugas kamu sekarang cuma belajar biar lulus ujian.”

“Nanti biar Sari yang tebus ya Bu.”

Aku menoleh ke arah Koh Han dan dia tersenyum lebar seraya menyetujui pernyataanku.

*****

Uang 570ribu sudah terkumpul dari tabungan kendi yang telah aku pecahkan. Aku berjalan gontai menuju toko Koh Han sambil menikmati aroma tanah selepas hujan.

Dengan aku menebus cincin kawin ini memang tidak akan pernah cukup membalas peluh ibu yang hanya diabdikan untukku. Peluh di kala fajar saat pipi keriput ibu harus beradu dengan bambu agar api tungku tetap membara. Peluh yang melaju dengan derasnya saat ibu harus berpacu dengan terik matahari sebagai buruh tani. Ah, aku belum bisa mengabdikan hidupku untuk ibuku. Aku mungkin telah terlambat.

[PromptQuiz #3] Bercinta di Flyover

Aku mengajak turis yang baru kukenal ini berkeliling kota. Pikiran dan hatiku semakin tak karuan. Akhirnya aku menghentikan laju motorku di  flyover yang lumayan sepi.

“Mengapa kita berhenti di sini? Ini sepi.”

“Tak apa, aku hanya ingin berduaan denganmu. Kamu cantik.”

Turis cantik ini membuat jantungku berdegup kencang. Buah dadanya begitu padat dan menggoda. Kulitnya begitu mulus dan harum. Kulingkarkan lenganku di lehernya, kuhirup aroma wangi yang menggelitik nafsuku. Tangan kananku mendarat di paha putih nan halus itu.

“Ahh, don't! Setidaknya bawalah aku ke hotel, not on the street like this!"

“Aku sudah biasa bercinta di flyover seperti ini. Nikmatilah sayang…”

Kupeluk erat tubuh mungilnya. Kucium bibirnya dengan penuh nafsu. Dan akhirnya tanganku mendarat tepat di buah dada yang kenyal dan padat ini. Turis cantik ini melenguh panjang dan membuatku semakin bernafsu.

Tangan kananku kembali mejamah paha mulusnya dan perlahan mulai menyusup ke dalam rok mini yang dia kenakan. Dia berontak.

Don’t touch it, please…

Turis cantik ini kalah, tangan kananku sudah berhasil masuk ke dalam roknya.

Ada sesuatu yang salah. Aku memegang benda tumpul yang panjang di dalam roknya. Turis catik ini tersenyum menatapku.

I have not finished the operation.”

Sial.

******
192 kata

Yuk, ikutan QUIZ MONDAY FLASHFICTION #3 - On The Street