credit |
Wajah ibu pucat pasi, tangannya mengenggam erat cincin satu-satunya peninggalan mendiang bapak. Ibu berdiam diri sejenak di depan toko emas milik Koh Han. Terlihat bulir peluh yang mengalir cukup deras dari jemarinya saat menyerahkan cincin itu kepada Koh Han. Keputusan itu terlihat mudah bagi ibu, tapi aku tahu bahwa ada luka yang teramat dalam saat ibu merelakan tanda cintanya digadai.
Tak kulihat ada pilu yang menetes dari pelupuk senjanya. Sebaliknya, ada seutas senyum merekah dari bibirnya yang tak lagi ranum.
“Ndak apa-apa Nduk, yang penting kamu bisa ikut ujian. Kamu wes ndak usah kuatir ya Nduk, tugas kamu sekarang cuma belajar biar lulus ujian.”
“Nanti biar Sari yang tebus ya Bu.”
Aku menoleh ke arah Koh Han dan dia tersenyum lebar seraya menyetujui pernyataanku.
*****
Uang 570ribu sudah terkumpul dari tabungan kendi yang telah aku pecahkan. Aku berjalan gontai menuju toko Koh Han sambil menikmati aroma tanah selepas hujan.
Dengan aku menebus cincin kawin ini memang tidak akan pernah cukup membalas peluh ibu yang hanya diabdikan untukku. Peluh di kala fajar saat pipi keriput ibu harus beradu dengan bambu agar api tungku tetap membara. Peluh yang melaju dengan derasnya saat ibu harus berpacu dengan terik matahari sebagai buruh tani. Ah, aku belum bisa mengabdikan hidupku untuk ibuku. Aku mungkin telah terlambat.
Toko Emas Koh Liok Han. Papan nama toko itu sudah usang dan mungkin telah rapuh.
Pria yang tak lagi muda itu selalu tersenyum ramah pada aku dan ibuku. Beliau telah menjaga cincin ibu dengan sepenuh hati agar tak terbeli oleh pelanggan yang mungkin naksir dengan mata merah yang tertanam pada cincin ibu. Kini, cincin kawin ibu telah berada di dalam genggamanku. Ibu pasti akan sangat bahagia.
Aku tersedu, bulir air mata ini melaju tanpa kendali. Rasanya, ingin segera aku menyematkan cincin ini pada ibu seperti sedia kala.
*****
“Ibu, pasti engkau bahagia melihat cincin bersamamu lagi.”
Aku menyunggingkan seutas senyum. Aku bahagia bisa menebus cincin ibu yang sempat tergadai, namun air mata ini pun seakan enggan untuk berhenti.
Aku mencium pusara basah di depanku dan pergi meninggalkan cincin itu bersama ibu. Seperti dulu.
*****
344 kata
jadi ibunya udah meninggal sejak sebelum ujian? *maaf Lola
ReplyDeletepetunjukknya di sini "Papan nama toko itu sudah usang dan mungkin telah rapuh." :D
Deletekalau petunjuknya adalah kalimat itu, aku rasa kurang tepat. soalnya banyak toko emas di kotaku yang memang udah lama berdirinya. bisa jadi kan, pembaca berfikir kalau si ibu ini menjual cincinnya di toko yang sudah lama berdiri :)
Deletekeep writing :)
dalam imajinasiku sih ibu meninggal sudah cukup lama Miss, makanya aku nulisnya toko tersebut papan namanya sudah rapuh..
Deletehihi makasih Miss sarannya :)
iya nih cerpennya butuh perenungan dan pemaknaan, hihi..
ReplyDeletesalam berani cerita, teh. ^_^
terima kasih Damae :)
Deletedalem bgt.. keren!
ReplyDeletecerita saya jg tentang cincin yg digadaiin, tp endingnya jd rumit :))
heheh.. makasih mbak Nathalia..
DeleteNdak papa mbak yang penting semangat belajar :)
tak ada konflik apapun dalam cerita ini. penulis hanya menjejalkan kalimat-kalimat bernada puitis nyaris di setiap paragraf, kadang malah terasa berlebihan.
ReplyDeleteapalagi masih ada sisa 'jatah kata' yang bisa dipergunakan untuk mengolah cerita jadi lebih menarik.
terus menulis yah. Salam. :)
iya nih Sob, lagi buntu ide..
Deletemakasih sarannya :)
Waw! Mantep nih cerita! Tetep ditebus, meskipun ibunya udah gak bisa make lagi! Ckckck, dalem twist-nya... ;-)
ReplyDeleteMakasih Sak :)
Deleteapik banget , say ..
ReplyDeleteDuh...mengharukan...
ReplyDelete