Dalam hidupku, inilah kali pertama aku menulis surat untukmu. Mungkin, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku pernah menulis satu. Ah, tapi aku sudah tak bisa mengingat apakah aku memang pernah merangkai kata demi kata khusus untukmu. Walaupun surat ini aku tulis karena suatu maksud, tapi aku akan menulisnya dari dalam hatiku sendiri, dari apa yang aku rasakan, dari apa yang telah engkau berikan. Bukan riset. Maka ijinkanlah anakmu menyampaikan cinta yang tak sebanding dengan cintamu.
My Mama, masih ingatkah kau dengan berbagai macam panggilan yang aku berikan padamu karena satu sikap protesku atas semua kesibukanmu? Tante, bulek, bahkan mbak adalah panggilan yang sudah tak asing bagimu dari mulut anak gadismu yang penuh dengan rasa protes ini. Ya, saat itu aku sangat protes karena aku iri dengan semua teman-temanku yang bisa bertemu dengan ibunya setiap hari sesuka mereka. Bagaimana bisa aku memanggilmu ibu jika kita tak bertemu setiap hari? Bagaimana bisa seorang ibu hanya menemui anaknya sebulan sekali? Itulah yang ada dipikiranku saat itu. Saat aku sudah bisa merasakan iri, saat aku sudah bisa merasakan sepinya tanpa ibu. Ah, dan ternyata panggilan seperti itu masih aku berikan hingga sekarang meski penuh dengan nada candaan. How cruel I am.
Anak gadismu memang pandai berdiplomasi, protes sana sini jika ada yang tak pas di hati. Yang aku tahu, yang aku mau harus kau wujudkan. Entah sifat ini turunan dari siapa. Apakah sifat ini juga milikmu, Mi?
Kau tahu, Mi. Selama tinggal bersama Mbah adalah momen terbaik dalam hidupku meski tanpa kehadiranmu. Aku sudah terbiasa tanpamu. Yang aku tahu, segala kebutuhanku selalu tercukupi olehmu. Jika aku butuh peralatan sekolah, maka aku akan segera mendapatkannya. Jika aku menginginkan ini itu, maka aku akan mencarimu. Ya, lebih tepatnya aku mencarimu jika aku membutuhkan bantuanmu secara finansial. Hmm.. Mungkin orang lain akan menganggapku sebagai anak kurang ajar, tapi kau yang membiasakanku tak berjumpa dengamu. Aku sudah terbiasa tidak mengucap kata "ibu".
Mami, pasti kau ingat betapa acuhnya aku saat mami dan ayah memutuskan untuk berpisah. Aku memang memilih untuk acuh, tak peduli urusan orang dewasa. Tapi, Mi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku menangis. Kau tahu, menangis adalah hal yang paling aku benci, hal paling hina untuk aku lakukan. Hanya saja, aku takut. Aku tak ingin hal itu terjadi. Tapi, Ah, sudahlah. Aku tak mengerti urusan orang dewasa.
Hmmm... Apakah perpisahan itu adalah jalan untuk membuka mataku padamu, Mi? Karena setelah kalian berpisah, aku selalu merasa bahwa aku sangat membutuhkanmu. Aku ingin selalu berada di sampingmu. Menemanimu. aku mulai melihat dengan jelas bahwa kau mencintaiku bukan semata karena aku anakmu. Kau mencintaiku karena kau memang mencintaiku. Aku melihat semua pengorbanan seorang ibu untuk anaknya. Aku melihat segala pengorbananmu untukku, anak gadismu yang masih saja nakal. Tak bisa kusebutkan satu per satu dalam surat ini pengorbananmu untukku. Tak bisa aku menulis daftar cintamu yang kau berikan padaku. Karena semua itu terlalu banyak, terlalu berharga, dan terlalu sakral. Kau yang memperjuangkan segalanya demi masa depan anakmu, kau menemaniku, membuatku tersenyum saat aku menangis, membuatku tertawa saat aku terluka, membuatku bahagia meski aku tak berkata cinta.
Oh, Mami,
Betapa sombongnya aku yang malu untuk mengucap cinta padamu. Aku yang selalu merasa dewasa ternyata tak bisa lepas dari segala perhatianmu. Aku yang terus berpura-pura acuh meski sebenarnya aku ingin berucap cinta. Ah, itulah bodohnya aku. Susahnya berucap cinta pada orang yang layak dan berhak untuk mendapatkannya. Aku ingin memelukmu, Mami. Selama hidupku, pelukanku padamu pasti bisa dihitung dengan sebelah tangan. Ciumanku untukmu, entahlah. Aku tak ingat. Duh!
Bahkan, kau telah dikalahkan oleh lelaki yang telah mengambil hatiku. Pelukan dan ciuman yang seharusnya kuberikan padamu, lebih sering aku berikan pada lelakiku. Ya, anak gadismu telah dewasa, telah mengenal cinta. Masih ingatkah saat mami menginginkan lelakiku melamarku? Bahkan kau sudah menginginkan aku untuk berumah tangga. Sedangkan aku belum pernah benar-benar hidup serumah dengamu. Apakah aku akan siap hidup serumah dengan orang lain? Aduh, Mami, aku galau.
Entah anak macam apa aku ini.
Mamiku yang cantik, meskipun aku terlalu dingin untuk berucap cinta dan memberikan pelukan padamu, tapi aku memang sangat mencintaimu. Dengan hidupku yang sekarang, aku akan memberikan perhatianku padamu. Aku tidak bermaksud membalas semua jasamu, karena jasamu tak akan pernah bisa aku balas meskipun dengan apapun. Aku hanya akan menunjukkan bahwa akulah anakmu. Akulah anak gadis yang telah lahir dari rahimmu. Akulah wanita yang akan bertanggung jawab padamu.
Dear Mami,
Aku mencintaimu.
My Mama, masih ingatkah kau dengan berbagai macam panggilan yang aku berikan padamu karena satu sikap protesku atas semua kesibukanmu? Tante, bulek, bahkan mbak adalah panggilan yang sudah tak asing bagimu dari mulut anak gadismu yang penuh dengan rasa protes ini. Ya, saat itu aku sangat protes karena aku iri dengan semua teman-temanku yang bisa bertemu dengan ibunya setiap hari sesuka mereka. Bagaimana bisa aku memanggilmu ibu jika kita tak bertemu setiap hari? Bagaimana bisa seorang ibu hanya menemui anaknya sebulan sekali? Itulah yang ada dipikiranku saat itu. Saat aku sudah bisa merasakan iri, saat aku sudah bisa merasakan sepinya tanpa ibu. Ah, dan ternyata panggilan seperti itu masih aku berikan hingga sekarang meski penuh dengan nada candaan. How cruel I am.
Anak gadismu memang pandai berdiplomasi, protes sana sini jika ada yang tak pas di hati. Yang aku tahu, yang aku mau harus kau wujudkan. Entah sifat ini turunan dari siapa. Apakah sifat ini juga milikmu, Mi?
Kau tahu, Mi. Selama tinggal bersama Mbah adalah momen terbaik dalam hidupku meski tanpa kehadiranmu. Aku sudah terbiasa tanpamu. Yang aku tahu, segala kebutuhanku selalu tercukupi olehmu. Jika aku butuh peralatan sekolah, maka aku akan segera mendapatkannya. Jika aku menginginkan ini itu, maka aku akan mencarimu. Ya, lebih tepatnya aku mencarimu jika aku membutuhkan bantuanmu secara finansial. Hmm.. Mungkin orang lain akan menganggapku sebagai anak kurang ajar, tapi kau yang membiasakanku tak berjumpa dengamu. Aku sudah terbiasa tidak mengucap kata "ibu".
Mami, pasti kau ingat betapa acuhnya aku saat mami dan ayah memutuskan untuk berpisah. Aku memang memilih untuk acuh, tak peduli urusan orang dewasa. Tapi, Mi, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku menangis. Kau tahu, menangis adalah hal yang paling aku benci, hal paling hina untuk aku lakukan. Hanya saja, aku takut. Aku tak ingin hal itu terjadi. Tapi, Ah, sudahlah. Aku tak mengerti urusan orang dewasa.
Hmmm... Apakah perpisahan itu adalah jalan untuk membuka mataku padamu, Mi? Karena setelah kalian berpisah, aku selalu merasa bahwa aku sangat membutuhkanmu. Aku ingin selalu berada di sampingmu. Menemanimu. aku mulai melihat dengan jelas bahwa kau mencintaiku bukan semata karena aku anakmu. Kau mencintaiku karena kau memang mencintaiku. Aku melihat semua pengorbanan seorang ibu untuk anaknya. Aku melihat segala pengorbananmu untukku, anak gadismu yang masih saja nakal. Tak bisa kusebutkan satu per satu dalam surat ini pengorbananmu untukku. Tak bisa aku menulis daftar cintamu yang kau berikan padaku. Karena semua itu terlalu banyak, terlalu berharga, dan terlalu sakral. Kau yang memperjuangkan segalanya demi masa depan anakmu, kau menemaniku, membuatku tersenyum saat aku menangis, membuatku tertawa saat aku terluka, membuatku bahagia meski aku tak berkata cinta.
Oh, Mami,
Betapa sombongnya aku yang malu untuk mengucap cinta padamu. Aku yang selalu merasa dewasa ternyata tak bisa lepas dari segala perhatianmu. Aku yang terus berpura-pura acuh meski sebenarnya aku ingin berucap cinta. Ah, itulah bodohnya aku. Susahnya berucap cinta pada orang yang layak dan berhak untuk mendapatkannya. Aku ingin memelukmu, Mami. Selama hidupku, pelukanku padamu pasti bisa dihitung dengan sebelah tangan. Ciumanku untukmu, entahlah. Aku tak ingat. Duh!
Bahkan, kau telah dikalahkan oleh lelaki yang telah mengambil hatiku. Pelukan dan ciuman yang seharusnya kuberikan padamu, lebih sering aku berikan pada lelakiku. Ya, anak gadismu telah dewasa, telah mengenal cinta. Masih ingatkah saat mami menginginkan lelakiku melamarku? Bahkan kau sudah menginginkan aku untuk berumah tangga. Sedangkan aku belum pernah benar-benar hidup serumah dengamu. Apakah aku akan siap hidup serumah dengan orang lain? Aduh, Mami, aku galau.
Entah anak macam apa aku ini.
Mamiku yang cantik, meskipun aku terlalu dingin untuk berucap cinta dan memberikan pelukan padamu, tapi aku memang sangat mencintaimu. Dengan hidupku yang sekarang, aku akan memberikan perhatianku padamu. Aku tidak bermaksud membalas semua jasamu, karena jasamu tak akan pernah bisa aku balas meskipun dengan apapun. Aku hanya akan menunjukkan bahwa akulah anakmu. Akulah anak gadis yang telah lahir dari rahimmu. Akulah wanita yang akan bertanggung jawab padamu.
Dear Mami,
Aku mencintaimu.
Your cruel daughter
ibu, selalu punya tempat tersendiri di dalam suut hati anaknya, sampai kapanpun. >.<
ReplyDeletePasti Vey,, pasti itu meski anaknya bandel akyak akui gini
DeleteIbu, tiga huruf sejuta arti..
ReplyDeletethats rite ^^
Deleteapalagi kalau sudah jadi ibu... sungguh luar biasa pengorbanan ibu kita,,
ReplyDeleteIya mbak,aku belum bisa ngerasain, baru bisa ngrasain klo cari duit itu suseh :(
DeleteHIks.. hiks....
ReplyDeleteibu, mama, mami, bunda atau apapun sebutanya, sosok wanita yang paling berpengaruh dalam hidup gw
ReplyDeletePasti om, tanpa beliau, kita ndak ada :)
DeleteIbu itu sosok nyata dari wonder woman :')
ReplyDeleteNah!
DeleteHehe, gue juga sering manggil emak gue semau-maunya. Kadang bude, kadang bulek, kadang mbah, kadang mbok! Hehe..
ReplyDeleteAhhaha..konyol ini mah, tapi gapapa sih asal bisa lebih deket aja :)
DeleteSabar aja Mbk Yu.
ReplyDeleteSaya yakin pasti ada hikmah dan berkah dari setiap kejadian yang di alami oleh hambaNya.
Ternyata aku salah menilaimu Mbk.
Ku kira kau wanita yang tangguh dengan segala kisah dan ketegaranmu.
Namun ternyata kau mampu meneteskan air mata kesedihanmu.
Jangan Mbk, jangan. Hentikan tangismu. Mulailah tersenyum, di sana masih banyak yang mengharapkanmu bahagia.
Termasuk aku, teman-temanmu, juga keluarga kecilmu.
Terimakasih, salam sayang selalu.
Hehehe.. kamu bisa aja, aku emang wanita tangguh kok tapi aku juga punya air mata.. hueheheh.. Makasih ya Jaswan ^^
DeleteTiada jalan yang tidak berujung, begitupun dengan rasa, asa, dan asih yang bersenandung. Sebulir tetesanan keringat tak kan mampu terbayar oleh seluas air di samudera yang ada. Tiada satu orang pun yang mau memasuki dan terlahir untuk mengalami proses kehidupan kelabu. Namun hal ini dapat menjadi pembelajaran agar buah hati tidak mengalmi hal yang sama.Bahwa cinta dan kasih akan membawa kita kepada dasar permasalahan yang sebenarnya, untuk selalu berganteng tangan menyambut esok hari yang ceria.
ReplyDeleteSalam wisata
memang benar, orang tua akan melakukan apapun agar anaknya menjadi lebih baik.
Deleteterima kasih kunjungannya :)
Semoga masih banyak waktu dan kesempatan buat kita berbakti sama seseorang yang cintanya gak pernah habis, Ibu :)
ReplyDeleteaamiin.. makasih ranii :)
DeleteIbu, Mami, Mama, Umi, apapun sebutannya mereka adalah wanita-wanita super untuk anaknya.
ReplyDeletebtw, emang Maminya dmana say?? *upss, sorry. moga suatu hari nanti bisa tinggal bersama Mami, bisa merawat Mami di usia tuanya :)
Ayu anak tunggal yah?
Mamiku di Sidoarjo mbak, tp gak pernah hidup bersama, dari kecil aku ikut mbah, eh uda gede merantau.. untungnya aku bukan anak tunggal, masih ada adek2ku :)
DeleteTerharu bsnget...maap jadi mewek akuh
ReplyDelete