Salah satu pura di Alas Kedaton |
Hari ke empat bulan madu, kami memutuskan untuk mengunjungi alas kedaton dan Tanah Lot sepulang dari Bali Trick Art Museum. Sempat eyel-eyelan soal alas kedaton karena jarak yang lumayan dari Tanah Lot. Akhirnya suami mengalah dan pergi ke alas kedaton terlebih dulu karena saya ingin melihat ribuan monyet secara bebas.
Hampir satu jam dari Villa Tukad Alit ke alas kedaton, suasananya sunyi dan di jalanan sebelum masuk pintu gerbang sudah disuguhi dengan beberapa ekor monyet yang mungkin sedang bersantai di jalanan sambil makan kacang. Tiket retribusi sepuluh ribu per orang dan dua ribu untuk satu motor. Saat parkir, beberapa orang yang ada di warung menyarankan kepada kami agar meletakkan beberapa batu besar di motor agar tidak menjadi tempat berjemur monyet-monyet yang sudah banyak berkumpul di area parkir. Dan hasilnya, satu monyet berhasil meloncat ke jok motor sebelum satu batu kami letakkan, doi pun berhasil merampas botol pocari sweat yang sayangnya masih sangat banyak dan berhasil dibawanya kabur. Setelah menitipkan helm ke bagian ticketing, kami masuk tanpa pecalang atau pemandu wisata karena kondisi tempat masih sepi dan baru beberapa turis luar saja yang terlihat. Namun, pilihan berjalan tanpa pecalang adalah salah besar, karena begitu masuk ke area pura, satu kera besar berhasil naik ke punggung si mas suami dan dia pun tak berkutik karena takut. Seorang bapak yang awalnya membersihkan halaman pura pun menolong si mas dan berakhir menjadi pecalang kami berdua.
Setelah mengelilingi komplek pura yang ditutupi oleh hutan dengan ditemani beberapa monyet yang turut berjalan kaki, kami menyudahi plesiran singkat di alas kedaton. Untuk tarif pecalang tidak ditentukan, semua tergantung kemurahan hati pengunjung. Kami pun berangkat menuju Tanah Lot. Tiket retribusi masuk Tanah Lot sama saja dengan alas kedaton dan kondisi cukup ramai karena bersamaan dengan wisata anak sekolah entah dari mana. Karena cuaca masih sedikit panas, kami pun berjalan di sepanjang penjual oleh-oleh yang ada di luar sebelum masuk kawasan tanah pantai. Pertimbangannya, sepertinya lebih murah daripada yang ada di dalam area, bener gak? Setelah lengkap membeli cindera mata, barulah kami masuk area pura dan pantai.
Masuk ke area pantai di Tanah Lot |
Sakralnya Tanah Lot sudah begitu terasa saat kami melihat satu pura, lupa namanya, dengan beberapa orang bapak-bapak yang memberikan air suci kepada pengunjung yang ingin masuk ke atas pura batu. Sebenarnya saya ingin masuk dan naik ke atas pura batu tersebut, sayangnya si mas ragu akan ritual yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu menempelkan beras di dahi dan disembur sedikit air suci. Karena kami tidak tahu tentang baik buruknya, bertentangan atau tidak dengan agama kami, maka diputuskan untuk tidak masuk ke dalam pura. Akhirnya yang kami lakukan adalah bernarsis ria dengan background pura tersebut.
Pura di Tanah Lot |
Hal yang tidak pernah lepas dari pulau Bali adalah pantainya yang sangat indah, termasuk di area Tanah Lot. Meskipun angin berhembus cukup kencang, kami memberanikan diri untuk menuju ke arah pantai lebih jauh lagi. Tipikal pantai yang ada di Tanah Lot adalah pantai yang berkarang dan cukup tajam, disarankan untuk menggunakan sandal gunung. Kalau saya, sih, lepas sepatu, asal hati-hati dijamin tidak akan melukai kaki. Ada hal yang cukup membuat saya geli yaitu hampir semua turis asing yang berpapasan dengan saya meliha ke arah tangan dan kaki yang saat itu masih mengenakan henna. Mereka melihat sambil menunjuk ke arah tangan dan kaki saya lalu diperagakan ke tangan mereka. Kebanyakan sih bule barat yang mungkin bagi mereka masih asing dengan henna, hehe.
Pantai di Tanah Lot |
Karena hari semakin sore dan angin semakin kencang, kami memutuskan menyudahi bermain di area pantai sebelah kiri pura. Kami pun menuju bagian kanan Tanah Lot untuk berfoto lagi dengan tongsis, haha. Di bagian kanan lagi ada beberapa pertunjukan salah satunya pertunjukan ular yang Insya Allah sudah jinak. Jadi pengunjung bisa berfoto dengan ular piton yang sangat besar tersebut. Kebanyakan yang melihat atraksi itu adalah turis asal Korea Selatan. Setelah lelah berjalan sambil bergandengan tangan dan menikmati sore yang semakin romantis, kami memutuskan untuk kembali pulang ke villa.
Menerawang ~ |
Menerawang ~ |
Adek lelah, Bang :) |
Perjalanan melihat kesakralan Tanah Lot menjadi akhir certa bulan madu kami di malam terakhir. Malamnya kami sengaja menikmati makan malam di villa dengan memesan seafood lalu menikmati kolam renang villa di malam hari untuk kali terakhir. Besoknya, kami sengaja untuk tidak bermalas ria untuk melihat indahnya matahari terbit dari pantai yang ternyata mendung, hiks. Semoga bisa hanimun lagi ke Bali.
Foto-fotonya natural banget mbak :D
ReplyDeleteAku pernah ke Bali ke sekali, tapi cuma numpang lewat doang krn transit :D
jangan lupa main ke bali ya mbakk, sama pasangan lebih asoy hehe
DeleteSumringah banget yu, csntiknya kpancar setelah nikah ^__^
ReplyDeletehahahah bisa aja mbakkk
DeleteBali memang cucok bgt utk hanimun :))
ReplyDeletecucok bingitssss mbakk
Deletepuranya indah banget mba :) bali memang is the best deh :D kereeen
ReplyDeletesetuju mbakkk.. pantainya itu romanciisss
DeletePernah ke alas kedaton langsung trauma, monyetnya galak2
ReplyDeleteahahah iya mbak, ada monyet yg rampas minumku dan tau2 naik ke punggung suami
DeleteKirain yang banyak monyetnya di Sangeh doang, oalah enake rek hanimun nang bali... cihuy
ReplyDeleteayoo gek hanimun maneh omm,, bertiga sama anakmu hahaa
DeleteAlhamdulillah cukup sering pergi ke Bali dan mengunjungi Tanah Lot. Tapi cuma sekali aja ngrasain Tanah Lot begitu mistis, yaitu pas disetel mantra sore lewat pengeras suara. Duhh, langsung merinding banget :D
ReplyDeletebenerrr,, audionya kan terdengae ke seluruh penjuru tanah lot, gamelannya bikin melayang
DeleteAsri benar ya mbak gendhiss tanah lot, memang cocok dijadikan tempat liburan terutama bersama keluarga. hehe
ReplyDelete