Dua Tahun Terlewati, Surat untuk Suamiku

Assalamu’alaikum, Mas. 
Melalui tulisan ini, ijinkan aku mengungkapkan isi hatiku yang mungkin selama ini aku tutup rapat.

Hmmm.. ternyata sudah dua tahun kita menikah, ah, baru dua tahun, masih seumur jagung. Kenyataan memang telah mengenalmu hampir 10 tahun, tapi masih banyak kejutan baru yang hadir dalam rumah tangga ini. Mas, masih ingat ijab kabul yang kamu ucap dihadapan orang tuaku dan puluhan saksi? Aku masih ingat dengan jelas bagaimana lantang dan tegasnya suaramu untuk menjadikanku istrimu, makmummu, belahan jiwamu. Memang baru dua tahun, tapi seperti roller coster, bukan? Tidak mulus nyatanya membina sebuah rumah tangga.

Mas, terima kasih. 
Atas kesabaran yang selalu kamu tampakkan kala menghadapi sikapku yang labil dan egois. Kesabaran dan ketenangan yang bisa membuatku tersenyum kembali. Hmm, meski beberapa kali kesabaranmu sepertinya hilang kendali, tapi ternyata api amarahmu tak pernah muncul di hadapanku. Aku mohon, jangan pernah tampakkan api amarah itu meskipun aku akan sangat menyebalkan. Aku selalu suka dengan kesabaran dan ketenanganmu. Tetaplah seperti itu dan ajarilah aku menjadi lebih tenang seperti kamu.


Mas, terima kasih. 
Atas kehadiranmu di sisiku dalam kondisi apapun. Kamu telah menemani aku dan bersedia hadir dalam kondisi tersulit pun. Aku sadar bahwa aku tak bisa hidup tanpamu, setiap hal kecil yang aku lakukan di rumah ini semua karena tuntunanmu. Masih ingat ada seekor ular masuk ke dalam rumah? Bagaimana jadinya aku dan Izza jika kamu tak merelakan pekerjaanmu dan pulang ke rumah. Masih ingat bagaimana aku haus di malam hari atau digigit nyamuk? Kamu langsung mengambilkan air minum untukku dan terjaga semalam memegang raket nyamuk. Banyak hal sepele memang, tapi nyatanya aku sangat bergantung padamu. Aku mohon, tetaplah bersamaku. Jika aku terjatuh, peluklah aku. Jika aku menangis, hapuslah air mataku.


Mas, terima kasih. 
Atas semua peluhmu menghidupi keluarga ini. Atas semua fasilitas dan kenyamanan yang kamu berikan pada aku dan Izza. Atas hadiah-hadiah istimewa yang kamu berikan padaku. Tak perlu kusebutkan satu per satu, yang aku rasakan, kamu tidak pernah membuatku kekurangan. Kamu ikhlas merelakan aku tidak bekerja kantoran dan menanggung semua beban finansial hanya di pundakmu. Aku akan ikhlas menerimanya, Mas. Aku menurutimu, mengelola rumah tangga, dan menjadi guru pertama untuk Izza demi mendapat ridhomu, suamiku.


Mas, terima kasih. 
Atas keluangan waktu yang kamu berikan untuk Izza, disela sibuk dan letihnya kamu selepas bekerja. Terima kasih telah membantuku merawat dan bermain dengannya. Masih ingat waktu kamu bermain dengannya hingga Izza tertawa begitu nyaring? Rasa bahagia menyelimuti diriku, aku bangga padamu, mas. Masih ingat saat Izza menyebut “ayaahhhhh” dengan lantang dan dia berlari ke arahmu lalu memelukmu? Aku bersyukur, Izza begitu dekat dan sayang padamu. Aku iri? Tentu tidak, Mas. Aku sangat bahagia saat melihat kalian berdua bisa seakrab itu. Dan aku mohon, tetaplah seperti itu, ajaklah Izza bermain secara aktif. Selalu sediakan waktumu untuknya, memeluknya, dan mencintainya. Kamu harus tahu, Mas. Kamulah cinta pertamanya.

Mas, terima kasih. 
Atas cinta dan kasih sayang yang kamu berikan selama ini. Aku tahu kamu bukan orang yang romantis, tapi aku selalu tahu bahwa kamu adalah suami yang sangat mencintai istrinya dan ayah yang menyayangi anaknya. Jika boleh, sedikit saja buka ruang ekspresi di hatimu, agar aku tidak menebak apa yang sedang kamu rasakan. Tetaplah menjadi pria yang tegas, tenang, dan sabar seperti itu. Ridhoi aku menjadi istrimu agar kelak pintu surga terbuka untukku dan keluarga ini. Mas, kamu harus tahu, jika aku mati dan hidup lagi, aku akan tetap memilihmu menjadi suamiku. Dan akan kujaga dengan baik keluarga ini.

Mas, maaf. 
Atas semua kata maaf yang tak pernah aku ucapkan selama ini. Maafkan istrimu. Aku mencintaimu.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar Anda ^.^