Cahaya
matahari di ufuk barat semakin menyilaukan latihan fisik pada sore hari ini. Ini
kali ketiga aku mengikuti latihan fisik ekskul pecinta alam di SMA baruku ini.
Dengan celana training hitam dan kaos oblong merah mudah, yang juga baru saja
aku beli demi mengikuti latihan rutin pecinta alam, aku mengikuti gerakan dari seorang
senior yang ada di depan kami. Kami, junior, yang berjumlah 37 orang dan hanya
12 orang perempuan termasuk aku merasa cukup kesulitan mengikuti gerakan-gerakan
gesit latihan itu. Mulai dari pemanasan, push
up, sit up, rolling, dan yang lainnya, mungkin hanya berlari mengelilingi
lapangan yang menjadi keahlianku, itu pun dengan nada yang cukup lemah menurut
para senior.
“Ayas!! Lari jangan
kayak bebek. Cepat sedikit, manja banget sih!”
Teriak salah seorang senior yang ada di salah satu ujung lapangan. “Ay, tambah dua putaran penuh lagi!!” Tambahnya
setelah aku berada tepat di sampingnya. Jadi total sore itu aku berlari 7
putaran lapangan upacara yang ada di depan gedung sekolahku. “Sial banget sih aku…” Hardikku dalam
hati.
Sebenarnya
ekskul seperti pecinta alam bukanlah duniaku, karena ku lebih suka bernyanyi.
Tapi aku menemukan duniaku yang lain di dalam ekskul ini. Mas Awan, dialah
satu-satunya alasan yang membuatku bisa terjerumus dalam ekskul yang penuh
dengan tekanan tingkat tinggi ini. Mas Awan, dengan tubuh tinggi atletis
melakukan atraksi panjat dinding tanpa tali pengaman, dengan membawa bendera
Indonesia yang akhirnya sampai dengan mulus di atas wall climbing dan dengan sigap mengibarkan bendera merah putih di
atasnya. Ganteng, keren, pintar. Ahh, sempurna! Sejak saat itu aku menjadi
penguntit setianya. Mencari tahu semua kegiatannya. Mencari tahu siapa teman
dekatnya.
Sudah hampir 4 bulan aku mengikuti seluruh kegiatan di ekskul yang menyeramkan ini. Aku berusaha mati-matian untuk mendapatkan perhatian dari mas Awan. Aku mengorbankan semuanya hanya untuk dia. Aku rela menjadi penghuni rutin sekretariat ekskul yang jumlahnya setiap hari selalu didominasi oleh kaum adam. Menunggunya selesai latihan panjat dinding sampai menjelang maghrib hanya untuk bisa menyapa dan mendapat senyumnya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti latihan rutin panjat dinding yang memang di luar latihan rutin kami. Entah setan apa yang sudah berhasil meracuni otakku. Aku mengiyakan perintah mas Awan untuk berlari keliling lapangan upacara sebanyak 60 putaran. “Fisik itu sangat penting untuk menjadi seorang atlet panjat dinding, setelah selesai berlari kalian push up 100 kali dan sit up 100 kali.” Kalimat itu masih terus teringat dan aku baru saja mendapatkan 12 putaran sementara teman-temanku mungkin sudah mendapat dua kalinya jumlahku. Dengan bermandikan keringat dan nafas ngos-ngosan setelah berlari aku mengambil posisi untuk push up dan sit up di paling ujung barisan karena memang akulah yang paling terakhir selesai. Aku menyadari telapak tanganku tergores aspal cukup parah aku membasuhnya dengan air minum dari botolku. Ku lihat mas Awan memandangiku, tapi dia tidak peduli, lalu dia pergi begitu saja dengan senior yang lainnya.
Aku
semakin rajin mengikuti latihan demi latihan baik latihan fisik setiap hari
selasa dan latihan panjat dinding setiap sabtu. Sebenarnya aku terpaksa
mengikuti semua aktivitas itu, aku takut, aku tidak kuat dengan semua beban
latihan fisik yang setiap hari semakin bertambah namun sangat menguras
energiku. Tapi aku selalu semangat jika mengikuti setiap latihan. Ada semangat
tersendiri jika aku bisa melihat mas Awan tersenyum. Mungkinkah aku jatuh
cinta? Tapi aku tetap belum bisa mendapat perhatiannya sedikitpun. Menurutku
aku tidak jelek, banyak yang tertarik padaku. Mungkin usahaku belum sempurna,
aku harus berusaha 60 kali lebih keras lagi. Aku tidak akan terlihat lemah lagi.
Aku akan menjadi atlet panjat dinding terhebat. Latihan demi latihan aku
lakukan dengan sungguh-sungguh. Tak peduli harus berapa banyak aku berlari
mengelilingi lapangan upacara ini, tak peduli berapa banyak aku harus push up dan sit up. Aku akan buktikan bahwa aku bisa diandalkan. Aku akan
membuat mas Awan terpukau kepadaku.
Hingga
suatu ketika di hari ulang tahun mas Awan.
Aku
datang ke sekretariat pecinta alam dengan membawa bungkusan kado yang cukup
besar. Aku melihat mas Awan bersama dengan seniorku yang lainnya di dalam sekretariat.
Dengan malu-malu aku memberikan kado berisi tas carier 50 liter kepada mas Awan
dan sangat berharap dia akan menerimanya.
“Apa ini? Aku gak
pernah minta kado apapun dari siapapun. Bawa kembali barang ini!”
“Itu kado dari Ayas
buat mas Awan, kan mas Awan suka naik gunung, jadi Ayas kasih tas carier itu.”
“Aku gak butuh carier
itu, milikku masih lebih layak. Ambil barang itu dan pergi dari sini. Aku risih
melihat satu perempuan dengan banyak laki-laki di ruangan ini!!”
Aku
meninggalkan sekretariat seketika setelah dia selesai bicara. Baru pertama
kalinya aku merasakan sakit hati dibentak mas Awan seperti itu. Sangat
menyakitkan.
Goodbyes
are meant for lonely people standing in the rain
And no
matter where I go it’s always pouring all the same.
These
streets are filled with memories
Both
perfect and in pain
And all I
wanna do is love you
But I’m the
only one to blame
*****
Hariku
semakin menyesakkan jika aku harus mengikuti latihan rutin fisik dan panjat
dinding. Aku selalu bertemu dengannya, aku malu tapi aku tidak pernah
membencinya karena telah membentak dan menolak hadiahku di depan
teman-temannya. Aku tetap mencintainya. Aku tetap setia menunggu
instruksi-instruksi yang dia berikan saat latihan panjat dinding. Aku tetap
setiap menjadi penghuni sekretariat walaupun banyak teman-teman yang
mencibirku.
“Ay, Ay, giliran kamu
tuh. Ayas!! Ngelamun mulu sih, itu giliran kamu stretching di depan wall
climbing.”
Aku
mengambil posisi di samping wall climbing
untuk melakukan pemanasan khusus sebelum naik wall climbing. Aku melihat di atas ada mas Awan dan salah satu
temanku yang bersiap akan meluncur dari atas wall climbing. Dan itu artinya aku akan bertemu dengan mas Awan di
atas, berdua. Dengan hati-hati aku memasang harnes
dan selanjutnya mengaitkan carabiner
dengan tali panjat. Aku memanjat dengan perasaan yang tidak karuan, aku
memikirkan apa yang akan aku lakukan di atas sana jika bertemu dengan mas Awan.
Aku menengok ke atas sebentar dan ‘deg’ mas Awan memperhatikanku dan seketika
itu pula tangan kananku terlepas dari batu yang pada awalnya aku pegang erat.
Pandanganku kabur, kepalaku pusing. Setelah berhenti sejenak akhirnya aku
kembali bisa menguasai medan panjat yang ada di depanku. Semua orang di bawah
bersorak memberikanku semangat tapi mas Awan hanya melihatkan wajah datar saat kepadaku.
Sebentar lagi aku sampai di atas sana.
“Ulurkan tanganmu,
cepat!” Kata mas Awan saat aku tepat di ujung wall climbing dan dia mengulurkan
tangannya tepat di atas kepalaku dan dengan ragu-ragu aku menglurkan tanganku
ke arahnya. Dengan cekatan dia langsung menjabat tanganku dengan sedikit
menarikku agar aku bisa melangkah dari ujung wall climbing. Nafasku tak beraturan dan tanganku masih dalam
jabatan tangannya. Itulah yang membuatku lemas dan salah tingkah tidak karuan.
Aku malu karena kejadian kado tempo itu. Tiba-tiba mas Awan melepaskan
tangannya dan berkata “istirahatlah sebentar
sebelum kau turun dari sini”. Oh Ibu, aku ingin sekali waktu berhenti
seperti ini, hanya ada aku dan mas Awan di atas sini. Wall climbing yang akhirnya berhasil aku taklukkan dalam waktu 8 bulan.
Kesempatan yang selama ini kau tunggu untuk berdua seperti ini. Semua jadi
sunyi dan hening. Aku tidak berani mengatakan apapun. Aku hanya tertunduk
memainkan carabiner yang ada di
tubuhku. Dan mas Awan terlihat sibuk membenahi letak tali panjat yang ada di
atas. Setelah terdiam entah berapa lama, akhirnya aku harus turun kembali dari
atas wall climbing. Mas awan
membantuku melangkah di atas ujung wall
climbing dan aku sudah dalam posisi siap untuk meluncur ke bawah.
“Seharusnya kamu tidak
perlu melakukan ini semua…”
Itu
kalimat yang aku dengar dari mas Awan tepat saat aku meluncur ke bawah. Kalimat
yang aku tidak tahu pasti apa maksudnya. Mungkin dia akan segera sadar jika aku
sangat mengaguminya.
*****
Menjelang akhir semester kenaikan kelas, hal yang paling aku tunggu pun tiba. Pendakian ke gunung. Ini
adalah pertama kalinya aku melakukan pendakian di gunung Arjuno. Setelah
beberapa minggu melakukan latihan fisik, kami generasi baru di ekskul pecinta
alam akhirnya bisa melakukan pendakian ke gunung. Ini tantangan baru bagiku. Sekaligus
ketakutan yang sangat besar menyelinap dalam diriku. Gunung. Perjalanan
panjang. Mendaki. Panjat tebing. Aku takut.
Tepat
jam 2 pagi kami tiba di kaki gunung, seorang lelaki yang sangat aku kenal
datang menghampiriku dan mengulurkan sebuah syal biru kepadaku.
“Pakailah ini, di sana
akan sangat dingin. Hati-hatilah dalam setiap langkahmu. Jangan lengah. Ingat
tiga pesanku. Pertama, jangan pernah mengambil apapun selain gambar. Kedua,
jangan pernah meninggalkan apapun selain jejak. Dan yang terakhir…”
“Jangan pernah membunuh
apapun selain waktu.” Aku meneruskan kalimat mas Awan dan dia
tersenyum padaku. Oh, senyumnya sungguh menawan. Dan dia berlalu
meninggalkanku.
Kami
semua berkumpul membentuk lingkaran, ketua ekskul kami memberikan wajangan yang
sama seperti yang dikatakan mas Awan tadi. Setelah berdoa kami mulai berjalan
merambat mendaki kaki bukit. Aku berada di tengah rombongan dan belakangku
adalah mas Awan.
Kurang
lebih 10 jam akhirnya kami semua sampai di puncak Arjuno. Puncak yang dipenuhi
dengan bebatuan besar yang berserakan. Dan sungguh perjalanan yang amat sangat
melelahkan bagiku. Tapi sungguh, perjalanan itu terbayar dengan keindahan di
atas gunung ini. Keindahan yang diciptakan begitu luar biasa oleh Tuhan yang
paling Perkasa.
“Aku ingin memetik
bunga edelweis itu.” Kataku kepada salah seorang temanku dan
dia kembali mengingatkanku tentang aturan di gunung untuk tidak mengambil
apapun kecuali gambar. Akhirnya setelah puas menikmati keindahan dari atas
gunung rombongan kami kembali turun karena hari akan gelap.
“Jangan pernah memetik
bunga edelweis, mereka terlalu indah untuk kau sentuh, mereka dilindungi. Bodoh!”
Mas Awan tiba-tiba berjalan di sampingku dan mengatakan kalimat itu dengan
sangat jelas. Aku tidak menyahut, aku hanya terus berjalan dan menatap ribuan
pohon pinus yang berdiri kokoh. Aku ingin seperti pohon pinus, tetap berdiri
kokoh dalam kondisi apapun. Sementara itu, seperti tanpa dosa, mas Awan tetap
saja berjalan di sampingku dengan gontainya. Manusia macam apa ini. Tak punya
hati!
Saat
malam tiba kami sudah sampai di kaki gunung dan mendirikan tenda untuk menginap
malam ini. Api unggun cukup menghangatkan hawa dingin yang sangat menyengat
namun tidak bisa menghangatkan hatiku. Kami duduk secara berkelompok dan saling
bercerita. Tapi aku hanya duduk di depan tenda sambil menikmati indahnya langit
malam itu.
“Bagaimana kondisimu?”
Mas Awan mendekatiku dan memberikan jahe hangat dalam sebuah gelas alumunium
dan mengambil posisi duduk tepat di samping kananku.
“Eh, iya kenapa mas?”
“Kamu senang dengan
pendakianmu? Sudah kau temukan perbedaan pendakianmu ke puncak terjal ini
dengan pengorbananmu mengubah dirimu selama 10 bulan ini?”
“Mak… sud..nya apa mas?
Aku gak ngerti.” Aku semakin tertunduk. Rasa capekku
menguap begitu saja. Dan aku hanya bisa memainkan gelas yang dia berikan
padaku.
“Bagaimana jika kamu
terluka atas semua tindakan bodohmu itu? Kamu tidak perlu mengorbankan dirimu
hingga jadi seperti ini. Kalau kamu kenapa-kenapa siapa yang mau tanggung
jawab?”
Dia
berbicara dengan entengnya tanpa memperhatikan perasaanku. Dasar lelaki berhati
dingin. Dan dia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu kamu bukan
seorang perempuan tangguh yang bisa latihan fisik begitu kerasnya. Kamu itu cuma
cewek manja yang lagi naksir sama kakak kelasmu. Kamu itu bodoh, gak
sepantasnya kamu memaksa untuk mengambil bunga edelweis itu. Kamu ituu….”
“Memang aku bodoh, aku
berusaha mengikuti semua latihan keras itu untuk mendapatkan perhatian mas
Awan. Aku mengorbankan semua hobiku untuk berjuang keras di ekskul ini. Tapi
aku tidak pernah mengeluh dengan semua keputusanku ini mas. Aku berjuang untuk
mempertahankan cinta yang mulai tumbuh di hatiku. Aku setia dengan semua
pengorbanan ini. Dan mungkin aku memang tidak layak untuk mendapatkan kamu mas,
seperti halnya kau tidak bisa memetik edelweis itu.”
Aku
berusaha berbicara setenang mungkin dan aku sekarang tidak baik-baik saja. Aku
ingin menangis. Oh tidak, air mata ini keluar begitu saja.
“Kamu tahu kenapa aku
sangat tidak suka dengan sifat keras kepalamu ini?”
“Karena mas Awan memang
tidak suka denganku!” Jawabku dengan sinis.
“Karena aku tidak mau
kamu terluka, baik fisikmu maupun hatimu.”
Hening.
“Jangan pernah menjadi
orang lain untuk mendapatkan cinta yang kau inginkan. Itu bukan cinta tapi
ambisi. Aku tahu sejak awal tahu perasaanmu untukku. Aku hanya berpikir kalau
kamu hanyalah mengagumiku sebagai seniormu. Pada akhirnya aku takut melihat
semua pengorbananmu untukku. Aku takut kamu terluka. Aku takut kamu sakit. Dan
aku lebih takut tidak bisa melihat senyum dan tawa gembiramu itu.”
“Ayas, jadilah dirimu
sendiri. Biarkan cinta itu yang memilihmu. Tidak ada yang lebih baik daripada
mencintai dengan apa adanya. Aku minta maaf.”
Mas
Awan menatapku dengan penuh perasaan dan itu sangat menghangatkan hatiku.
Sekarang aku tahu hati itu memang bukan untukku saat ini, tapi aku merasa lebih
baik dengan semua ini. Meskipun saat ini cukup sakit rasanya patah hati namun
aku mendapatkan semangat baru dalam hidupku. Semua perjuanganku terjawab
lengkap dengan proses yang sangat indah. Aku akan belajar mencintai orang lain
dengan menjadi diriku sendiri. Mungkin cintanya akan memilihku suatu saat
nanti.
“Bagiku, kamu adalah
bunga edelweis terindah yang pernah ada…”
Itulah
kalimat terakhir mas Awan dalam perbincangan kami malam itu. Pergorbananku
memang tidak mendapatkan cinta yang aku mau, tapi aku mendapatkan banyak sekali
pelajaran penting dari dia dan bunga indah itu. Edelweis, mengajarkanku
banyak hal. Sebuah perjuangan panjang dan melelahkan untuk bisa melihat bunga
itu tumbuh dengan indah di padang-padang yang ada di atas gunung. Bahkan dengan
resiko nyawa sekalipun jika kita ingin melihat bunga terindah di dataran
gersang itu. Seperti halnya cinta yang harus diperjuangkan jika memang pantas
untuk diperjuangkan. Sekali lagi, jika memang pantas untuk diperjuangkan dengan
menjadi diri sendiri. Biarkanlah cinta itu tumbuh pada hati yang tepat, biarkanlah
cinta itu yang memilih, dan biarkanlah cinta itu abadi. Biarkanlah bunga edelweis
itu tumbuh abadi pada tempat yang semestinya, selamanya.
*****
sedih jg, meskipun gak happy ending, tp tetep apa yg semua tertulis tentang cinta itu bnr, cinta memang hrs diperjuangkan. tetapi ingat jgn pernah mencintai seseorg sampai 100%, sisakan 1 % saja untuk patah hati. sehingga kamu akan bs bangkit kembali dengan bekal 1 % itu.
ReplyDeletenice story... :D
semua persyaratan udh komplit, maka:
________________________________
"KAMU TERDAFTAR.."
terima ksh atas partisipasinya
^_^
Terima kasih kembali kakak:)
Deletewish me luck ^.^
keren!
ReplyDeleteTerima kasih :)
Deletewah bagus banget moga sukses kontesnya sis
ReplyDeletemakasih kembali :)
Delete