Menjadi Ibu yang Seperti Apa? #2

foto jadul dengan ibu
It's been a long time, ini foto di rumah simbah. yang cewe itu saya dan adik, yang cowo ponakan
Masih tentang perang antar ibudan peran seorang ibu dalam keluarga terutama untuk anak-anaknya. Bukan sebuah tulisan yang akan memancing peperangan, ini hanyalah sebuah tulisan yang berisi harapan saya kelak saat menjadi ibu untuk bayi yang sudah ada di dalam perut saya. Silakan baca terlebih dahulu: Menjadi Ibu yang Seperti Apa? Bagian 1.

Baca juga: Perjalanan Hidup

Masalah kedua adalah perang antara bayi asi vs bayi sufor, jika kalian sudah membaca postingan serupa pada bagian pertama maka akan sangat jelas bahwa saya adalah bayi sufor. Dan kata bulek, saya minum susu menggunakan dot hingga kelas 1 sekolah dasar, haha. Dapat saya akui bahwa kehidupan pada jaman ibu saya ibu, edukasi tentang asi memang sangat kurang, kebanyakan mereka menganggap kalau susu formula itu lebih bergizi daripada air susu ibu. Terbukti dengan berlomba-lombanya para ibu untuk membeli susu formula paling mahal. Dan mereka tidak tahu menahu tentang ASIP atau asi perah yang bisa disimpan di dalam freezer, boro-boro punya freezer, lemari es saat itu menjadi barang langka yang mustahil bisa dimiliki oleh orang-orang desa seperti kami. Jika dikulik, saya minum sufor itu memang karena kondisi ibu yang harus bekerja ke luar kota dan hal ini berlaku pula untuk adik-adik saya, penimun susu formula semua. Dari sini saya menciptakan kondisi ideal, yaitu memberikan air susu ibu secara penuh selama 2,5 tahun kepada anak-anak kelak karena kondisi ideal pertama yang saya mau adalah saya tiak bekerja di luar rumah. Idealnya, sih, seperti itu, tapi untuk pelaksanaannya bisa saja meleset dari harapan karena banyak faktor. Menurut info yang saya dapat, air susu ibu itu pasti keluar, jika tidak maka bisa dicari penyebabnya. Sumber dari seorang teman juga yang pada awalnya asi tidak keluar tapi setelah melakukan relaktasi Alhamdulillah asi keluar dengan lancar. Semoga nanti asi saya bisa keluar dengan lancar dan banyak, agar kebutuhan sang buah hati terpenuhi, hehe.

Kasus ketiga yang sering juga menimbulkan konflik adalah sekolah formal vs homeshooling. Kondisi yang saya hadapi saat ini adalah, sekolah formal yang kebanyakan sudah bergeser nilai pendidikannya karena elemen yang ada di dalam sekolah formal tersebut kebanyakan tidak lagi paham arti sekolah. Banyak sekali kasus yang terjadi di sekolah, pertikaian antar teman yang berujung pembunuhan, kekerasan oleh guru, tindak asusila, dan sebagainya. Jujur, ya, saya sedikit takut dengan apa yang terjadi dalam duni sekolah akhir-akhir ini, kok sepertinya sangat berbeda dengan jaman saya sekolah dulu. Setebal apapun bekal yang sudah diberikan orang tua dari rumah, jika tidak didukung atau malah dirusak oleh elemen sekolah ya sepertinya akan sia-sia. Belum lagi ajaran-ajaran melenceng yang sudah dimasukkan ke sekolah-sekolah tertentu yang notabene berbasis islam. Sebaliknya, semakin banyak program homeschooling untuk balita hingga sekolah menengah pertama yang nyatanya tetap bisa masuk ke perguruan tinggi atau universitas lainnya dengan ijasah paket A/B/C. Sayangnya, harus butuh bekal luar biasa besar untuk para orang tua dalam hal ini, terutama saya yang masih miskin ilmu. Memang, saya sudah mengikuti satu pembelajaran homeschooling tapi rasanya masih sangat jauh sekali untuk memulainya. Dari latar belakang tersebut, kondisi ideal yang saya harapkan adalah, tetap memberikan pelajaran dasar bagi anak sebelum mereka masuk ke sekolah formal. Ya, pilihan saya tetap sekolah formal tapi sekolah di rumah akan tetap kami jalankan. Sekolah di rumah untuk melengkapi pelajaran yang sekiranya tidak mereka dapatkan mungkin tentang fiqih.

Siapa yang tidak ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya? Setiap ibu pasti, bahkan saya yang masih calon ibu saja ingin segala hal terbaik bagi sang jabang bayi. Bagaimana pun caranya, apa yang dilakukan ibu itu semata untuk cintanya pada sang anak. Apapun profesi ibu, bagaimana pun tingkah laku ibu, seperti apapun cara berpikir dan bertindak ibu, saya yakin semata demi anak-anak mereka. Setiap ibu punya surga masing-masing yang tidak membedakan profesi, Tuhan yang memberikan itu, dan Tuhan pun tidak membedakan ibu satu dengan ibu lainnya. So, berhentilah saling menjatuhkan, karena label kalian tetap sama yaitu IBU.

7 comments:

  1. Setiap ibu punya cara sendiri yaa untuk pertumbuhan terbaik anak...tinggal belajar menghargai perbedaan dengan yang lain :)

    ReplyDelete
  2. wah aku keburu baca yang bagian 2 nnya mba, blm sempet baca yg bagian 1, pantesan ak kurang deng. meluncur dl deh ke bag 1 nya

    ReplyDelete
  3. Anakku aku masukin madrasah sih, mba. Mudah2an ada bekal buat masuk pondok dan juga bekal buat akhirat nanti

    ReplyDelete
    Replies
    1. harus bisa nyari yg beneran bagus ya mba madrasahnya

      Delete
  4. Saya mah pengen jd ibu yg baik ini itu, tp yg penting nanti prakteknya

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar Anda ^.^