It's been a long time, ini foto di rumah simbah. yang cewe itu saya dan adik, yang cowo ponakan |
Masih tentang perang antar ibudan peran seorang ibu dalam keluarga terutama untuk anak-anaknya. Bukan sebuah
tulisan yang akan memancing peperangan, ini hanyalah sebuah tulisan yang berisi
harapan saya kelak saat menjadi ibu untuk bayi yang sudah ada di dalam perut
saya. Silakan baca terlebih dahulu: Menjadi Ibu yang Seperti Apa? Bagian 1.
Baca juga: Perjalanan Hidup
Masalah kedua adalah perang antara bayi asi vs bayi sufor, jika kalian sudah membaca postingan serupa
pada bagian pertama maka akan sangat jelas bahwa saya adalah bayi sufor. Dan kata
bulek, saya minum susu menggunakan dot hingga kelas 1 sekolah dasar, haha. Dapat
saya akui bahwa kehidupan pada jaman ibu saya ibu, edukasi tentang asi memang
sangat kurang, kebanyakan mereka menganggap kalau susu formula itu lebih
bergizi daripada air susu ibu. Terbukti dengan berlomba-lombanya para ibu untuk
membeli susu formula paling mahal. Dan mereka tidak tahu menahu tentang ASIP
atau asi perah yang bisa disimpan di dalam freezer,
boro-boro punya freezer, lemari es
saat itu menjadi barang langka yang mustahil bisa dimiliki oleh orang-orang
desa seperti kami. Jika dikulik, saya minum sufor itu memang karena kondisi ibu
yang harus bekerja ke luar kota dan hal ini berlaku pula untuk adik-adik saya,
penimun susu formula semua. Dari sini saya menciptakan kondisi ideal, yaitu
memberikan air susu ibu secara penuh selama 2,5 tahun kepada anak-anak kelak
karena kondisi ideal pertama yang saya mau adalah saya tiak bekerja di luar
rumah. Idealnya, sih, seperti itu, tapi untuk pelaksanaannya bisa saja meleset
dari harapan karena banyak faktor. Menurut info yang saya dapat, air susu ibu
itu pasti keluar, jika tidak maka bisa dicari penyebabnya. Sumber dari seorang
teman juga yang pada awalnya asi tidak keluar tapi setelah melakukan relaktasi
Alhamdulillah asi keluar dengan lancar. Semoga nanti asi saya bisa keluar
dengan lancar dan banyak, agar kebutuhan sang buah hati terpenuhi, hehe.
Kasus ketiga yang sering juga menimbulkan konflik adalah sekolah
formal vs homeshooling. Kondisi yang
saya hadapi saat ini adalah, sekolah formal yang kebanyakan sudah bergeser nilai
pendidikannya karena elemen yang ada di dalam sekolah formal tersebut
kebanyakan tidak lagi paham arti sekolah. Banyak sekali kasus yang terjadi di
sekolah, pertikaian antar teman yang berujung pembunuhan, kekerasan oleh guru,
tindak asusila, dan sebagainya. Jujur, ya, saya sedikit takut dengan apa yang
terjadi dalam duni sekolah akhir-akhir ini, kok sepertinya sangat berbeda
dengan jaman saya sekolah dulu. Setebal apapun bekal yang sudah diberikan orang
tua dari rumah, jika tidak didukung atau malah dirusak oleh elemen sekolah ya
sepertinya akan sia-sia. Belum lagi ajaran-ajaran melenceng yang sudah
dimasukkan ke sekolah-sekolah tertentu yang notabene berbasis islam. Sebaliknya,
semakin banyak program homeschooling
untuk balita hingga sekolah menengah pertama yang nyatanya tetap bisa masuk ke
perguruan tinggi atau universitas lainnya dengan ijasah paket A/B/C. Sayangnya,
harus butuh bekal luar biasa besar untuk para orang tua dalam hal ini, terutama
saya yang masih miskin ilmu. Memang, saya sudah mengikuti satu pembelajaran homeschooling tapi rasanya masih sangat
jauh sekali untuk memulainya. Dari latar belakang tersebut, kondisi ideal yang
saya harapkan adalah, tetap memberikan pelajaran dasar bagi anak sebelum mereka
masuk ke sekolah formal. Ya, pilihan saya tetap sekolah formal tapi sekolah di
rumah akan tetap kami jalankan. Sekolah di rumah untuk melengkapi pelajaran
yang sekiranya tidak mereka dapatkan mungkin tentang fiqih.
Baca juga: Menjadi Ibu yang Seperti Apa? #1
Siapa yang tidak ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya? Setiap ibu
pasti, bahkan saya yang masih calon ibu saja ingin segala hal terbaik bagi sang
jabang bayi. Bagaimana pun caranya, apa yang dilakukan ibu itu semata untuk
cintanya pada sang anak. Apapun profesi ibu, bagaimana pun tingkah laku ibu,
seperti apapun cara berpikir dan bertindak ibu, saya yakin semata demi
anak-anak mereka. Setiap ibu punya surga masing-masing yang tidak membedakan
profesi, Tuhan yang memberikan itu, dan Tuhan pun tidak membedakan ibu satu
dengan ibu lainnya. So, berhentilah
saling menjatuhkan, karena label kalian tetap sama yaitu IBU.
Setiap ibu punya cara sendiri yaa untuk pertumbuhan terbaik anak...tinggal belajar menghargai perbedaan dengan yang lain :)
ReplyDeletebetul sekali.. no more moms war deh
Deletewah aku keburu baca yang bagian 2 nnya mba, blm sempet baca yg bagian 1, pantesan ak kurang deng. meluncur dl deh ke bag 1 nya
ReplyDeletesilakaann ^^
DeleteAnakku aku masukin madrasah sih, mba. Mudah2an ada bekal buat masuk pondok dan juga bekal buat akhirat nanti
ReplyDeleteharus bisa nyari yg beneran bagus ya mba madrasahnya
DeleteSaya mah pengen jd ibu yg baik ini itu, tp yg penting nanti prakteknya
ReplyDelete