Lelaki ini bukan hanya membuatku jatuh cinta, namun juga mabuk kepayang. Bukan hanya cinta yang telah kuberikan padanya namun seluruh hidup dan jiwaku, segalanya. Dia sudah menjadi nyawa dalam hidupku. Aku tak bisa hidup tanpanya. Setiap dia menginginkanku, aku akan selalu ada untuknya. Apapun dan bagaimanapun kondisinya.
Lelaki itu adalah suami yang telah 2 bulan ini menjadi suamiku. Suami yang sangat aku dambakan selama ini. Sikapnya semakin manis padaku, memang dia orang yang sangat romantis. Kecupan-kecupan mesra selalu dia daratkan di bibir dan wajahku, hanya saja ada keganjilan dalam rumah tangga yang baru seumur jagung ini. Dia tak pernah mau berhubungan badan denganku. Alasannya beragam, namun lebih sering dia berkata lelah.
Aku memutuskan untuk segera menyelesaikan masalah rumah tangga kami.
Malam ini aku sengaja mengenakan lingerie merah transparan tanpa menggunakan pakaian dalam sehelai pun. Aku duduk di depannya dengan penuh gairah. Aku pastikan, suamiku dapat melihat seluruh isi tubuhku dengan jelas dan sempurna. Dan aku pun mulai meraba tubuhnya.
"Jangan sayang. Aku lelah, seharian kerjaan padat di kantor."
"Kenapa? Kenapa Mas selalu menolak berhubungan badan denganku? Aku ini istrimu Mas!"
Suamiku hanya diam, tatapan matanya kosong. Namun aku yakin dia punya jawaban yang bisa dia jelaskan padaku. Aku semakin penasaran dengan jawabannya. Hal yang telah membuatku gelisah.
"Apa Mas impoten?"
Dia menggeleng cepat. Seketika mulutnya terbuka seperti ingin mengungkapkan sebuah kebenaran.
"Aku mencintai orang lain, Dek."
Jedar. Seperti ada petir besar yang menyambar kepalaku. Hatiku hancur seketika, hatiku luluh lantah berkeping-keping. Aku menatap matanya dan seakan dia tahu bahwa aku bertanya siapa wanita itu.
"Besok siang akan aku pertemuan kamu dengan orang yang aku cintai itu. Sekarang tidurlah."
*****
Wanita di depanku ini sungguh cantik. Penampilannya berani, rok mini memperlihatkan paha mulusnya dan buah dada yang lebih besar dari milikku. Namun, kesenduan kulihat dari pancaran matanya. Aneh. Seharusnya kesenduan itu terlihat di mata kekasih yang ada di sampingnya, seorang lelaki yang tampan dan klimis.
Hanya ada kebisuan yang cukup lama, dengan berani aku membuka sebuah pertanyaan yang akan menetuntukan arah hidupku selanjutnya.
"Katakan, Mas. Apa dia wanita itu?"
Aku berderai air mata karena aku memang belum siap untuk patah hati. Hal yang sama juga kulihat dari pancaran mata wanita itu. Kenapa dia menangis? Dia yang telah merebut hati suamiku.
Tanpa banyak kata suamiku mulai bereaksi melihat deraian air mataku. Kulihat tangan suamiku terulur menuju pasangan di depan kami. Suamiku telah menggenggam erat tangan lelaki yang duduk di hadapannya.
Oh, Tuhan.