Sepertinya
suasana malam ini tidak begitu bersahabat bagi Riana. Angin yang dingin membuat
dia memaki dirinya sendiri kenapa lupa membawa jaketnya yang tertinggal di
mobil. Lorong yang tidak terlalu terang karena beberapa lampu mulai dimatikan.
Dan kenapa tidak ada orang bersliweran? Padahal masih jam 8 malam.
“Nah,
sebentar lagi sudah sampai di kamar Sinta.” Riana mencoba menghibur diri
sendiri karena dirinya masih merinding. Cepat-cepat langkahnya diayun, sampai
akhirnya dia berhenti tiba-tiba saat melihat sebuah tempat tidur dorong melaju
cepat ke arahnya.
Riana menoleh ke sumber melajunya tempat tidur dorong dan berhenti sejenak. Terlihat bayangan perempuan berperawakan tinggi dan berambut panjang seperti miliknya berjalan lambat ke arahnya. Perempuan itupun berlalu dihadapannya. “Ah, buang-buang waktu saja, kupikir Sinta.” Gumam Riana dengan kesal sambil berlalu dan berjalan lebih cepat ke kamar Sinta.
Riana menoleh ke sumber melajunya tempat tidur dorong dan berhenti sejenak. Terlihat bayangan perempuan berperawakan tinggi dan berambut panjang seperti miliknya berjalan lambat ke arahnya. Perempuan itupun berlalu dihadapannya. “Ah, buang-buang waktu saja, kupikir Sinta.” Gumam Riana dengan kesal sambil berlalu dan berjalan lebih cepat ke kamar Sinta.
Dilihatnya
Sinta yang sedang duduk di kursi plastik dengan tatapan kosong dan tak
menghiraukan kedatangannya. “Sinta, bagaimana keadaanmu? Apa kata dokter?
Bagian mana yang sakit?” Riana berdiri di hadapan Sinta dan mengelus kepala
Sinta yang diperban. Namun Sinta malah tertunduk dan terdengar suara
sesenggukan yang lirih.
“Kenapa
kau menangis? Apa kata dokter?” Riana bersimpuh di bawah kaki adiknya dan meluruhkan
air matanya.
“Maafkan
Sinta, Kak. Sinta yang salah, seharusnya Sinta menuruti semua kata Kakak.”
“Sudahlah
Sinta, yang penting kamu selamat. Kakak tidak ingin kehilangan kamu Dek.”
“Sinta
yang membuat Kakak datang ke diskotik itu pagi buta. Sinta yang memberikan maut
kepada Kakak. Sinta yang menyebabkan kecelakaan ini!!” Tangis Sinta semakin
pecah dan keras, dia sama sekali tidak memperdulikan omongan Riana bahkan
memandangnya. Sinta beranjak dan tertatih keluar kamar rawatnya. Dia tidak
memperdulikan Riana, kakaknya.
“Mau
kemana Dek, istirahatlah. Kakak tidak marah padamu, Kakak selalu menyayangimu
Dek.” Riana mengikuti setiap langkah Sinta. Tetap saja, Sinta tidak
menghiraukannya.
“Apa
yang akan kau lakukan di kamar mayat ini Sinta? Mengapa kau kesini? Ayo kita
kembali ke kamarmu Dek.”
“Kak
Riana, maafkan Sinta. Ini semua salah Sinta. Sinta berjanji akan berubah dan
tidak mengulangi kebiasaan buruk itu Kak. Sinta mencintai Kakak.” Sinta membuka
kain yang menutupi tubuh seorang perempuan berperawakan tinggi yang sudah
terbujur kaku itu. Perempuan yang dilihat Riana di lorong tadi. Perempuan
berambut panjang itu.
“Tenanglah
di sana Kak.” Kecupan hangat diberikan Sinta pada kakaknya untuk terakhir kalinya.
*******
365 kata
Nice! :) *suka serem sendiri kalo udah baca cerita yang beginian
ReplyDeletesaya bikinnya juga serem hihi
Deletewow, nice ;)
ReplyDeletemakasih mbak :)
Deletemerinding huhu..
ReplyDeletekeren :)
hihi, saya juga merinding
Deletehantuuu
ReplyDeletehedehhhh.... *merinding*
ReplyDeletepantas saja si kaka ngomong nggak digubris :)
ReplyDelete